Sabtu, 31 Mei 2014


MAKALAH
ULUMUL HADIS
Perkembangan Hadis pada
Masa Tabi’in
Dosen Pengampu:
M. Syaifullah, M.Pd.I






Di susun oleh:
1.      ASTRI LESTARI           (1397901)
2.      DINA NIARTIANA      
3.      MA’RUF MAHUDI       (1398811)
           
Prodi               : PAI
Kelas               : D
Semester         : II (Dua)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JURAI SIWO METRO
T.A. 2014


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak begitu berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Hal ini karena mereka, mengikuti jejak para sahabat yang menjadi guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapai mereka agak berbeda dengan yang dihadapai mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al-Quran sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Di pihak lain, para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam, sehingga para tabi’in dapat mempelajari hadis dari mereka.
Ketika pemerintahan dipegang oleh Bani Umayah, wilayah kekuasaan islam telah meliputi Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan, Samarkand, dan Spanyol, di samping Madinah, Mekah, Basrah, Syam, dan Khurasan. Pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam, dan meningkatnya penyebaran para sahabat ke daerah-daerah tersebut menjadikan masa ini dikenal dengan masa penyebaran periwayatan hadis (Intisyar Ar-Riwayah Ila-Amshar).
Untuk memahami setatus hukum hadis secara benar dan tepat rasanya tidak akan pernah dicapai kecuali dengan memahami secara benar  proses dan jalur penerimaan hadis serta hal terkait lainnya yang berhubungan dengan ilmu hadis. dengan demikian, ilmu hadis dengan berbagai sub bahasanya merupakan sarana utama yang harus dipelajari dan dimengerti oleh setiap orang yang ingin memahami dengan benar proses penerimaan hadis Rasulullah SAW.
Sekalipun ilmu hadis nampak begitu urgen untuk memahami status hadis, namun, buku-buku yang membahas masalah tersebut dengan uslub yang lugas dan praktis jarang dijumpai. Padahal, kebutuhan masyarakat, khususnya pelajar maupun perguruan tinggi terhadap buku tersebut sangatlah mendesak.
Tujuan umum yang hendak dicapai dari pembuatan makalah ini agar pelajar dan mahasiswa dapat mengetahui dan memahami dengan baik pentingnya pengetahuan ulum al-hadist, khususnya hadis dan hubunganya dengan al-Quran.

B.       Rumusan Masalah
1.   Kapankah pertumbuhan dan penyempurnaan hadits pada masa   tabi’in.
2.   Kapankah penyempurnaan pada masa tabi’in.
3.   Dimanakah pusat-pusat pembinaan hadits.
4.   Kapankah Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadis.

C.       Tujuan p[embahasan
1.   Untuk mengetahui pertumbuhan dan penyempurnaan hadits pada masa   tabi’in.
2.   Untuk mengetahui dapankah penyempurnaan pada masa tabi’in.
3.   Untuk mrngrtahui dimanakah pusat-pusat pembinaan hadits.
4.   Untuk mengetahui kapankah Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadis.















BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pertumbuhan dan Perkembangan Hadis Pada Masa Tabi’in
Pada masa abad ini disebut Masa Pengondifikasian Hadis (al-jam’u wa at-tadwin). Kalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H) yakni yang hidup pada akhir abad 1 H menganggap perlu adanya penghimpunan dan pembukuan Hadis, karena beliau khawatir lenyapnya ajaran-ajaran Nabi setelah wafatnya para ulama baik dikalangan sahabat maupun tabi’in. maka beliau intruksikan kepada para gubernur diseluruh wilayah negeri Islam agar para ulama dan ahli ilmu  menghimpun dan membukukan hadis.
Ų§ُنْŲøُŲ±ُوْŲ§ Ų­َŲÆِيْŲ«َ Ų±َŲ³ُوْاللهِ ŲµَŁ„َّى اللهُ Ų¹َŁ„َيْهِ وَŲ³َŁ„َّŁ…َ فَŲ§َ Ų®ْŁ…ِŲ¹ُوْهُ
Lihatlah Hadis Rasulullah kemudian himpunlah ia.
Demikian juga surat Khalifah yang dikirim kepada Ibn Hazm (w.117 H) :
Ų§ُكْŲŖُŲØْ Ų§ِŁ„َيَّ ŲØِŁ…َŲ§ يَŲ«ْŲØُŲŖُ Ł…ِنْ Ų§Ł„ْŲ­َŲÆِيْŲ«ِ Ų¹َنْ Ų±َŲ³ُوْŁ„ِ اللهِ ŲµَŁ„َّى اللهُ Ų¹َŁ„َيْهِ وَŲ³َŁ„َّŁ…َ فَŲ„ِنِّى Ų®َŲ“ِيتُ ŲÆُŲ±ُوْŲ³َ Ų§Ł„ْŲ¹ِŁ„ْŁ… وَŲ°َهَŲ§ŲØَ Ų§ْلعُŁ„َŁ…َŲ§Ų”ِ
Tulislah kepadaku apa yang tetap padamu dari pada Hadis Rasulullah, sesungguhnya aku Khawatir hilangnya ilmu dan wafatnya para ulama.[1]
Tidak diketahui pasti siapa diantara ulama yang lebih dulu dalam melaksanakan intruksi khalifah tersebut. Sebagian pendapat mengatakan Abu Bakar Muhamad bin Amr bin Hazm sebagaimana bunyi teks diatas. Pendapat lain mengatakan Ar-Rabi’ bin Shabih, Sa’id bin Arubah, dan muhamad bin Muslim bin Asy-Syihab Az-Zuhri, Namun pendapat yang paling populer adalah muhamad bin Muslim bin Asy-syihab Az-Zuhrisedang Ibn Hazm hanya menyampaikan intruksi khalifah keseluruh negeri kekuasaan dan belum melakukan kondifikasi. Az-Zuhri di nilai sebagai orang pertama dalam melaksanakan tugas pengondifikasian Hadis dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz, dengan ungkapanya :
“Kami diperintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk menghimpun sunnah,  kami telah melaksanakanya dari buku ke buku, kemudian dikirim kesetiap wilayah kekuasaan Sultan satu buku.”
Berdasarkan inilah para ahli sejarah dan ulama berkesimpulan bahwa Ibn Asy-Syihab Az-Zuhri orang pertama yang menggondifikasikan hadis pada awal tahun 100 H di bawah Umar bin Addul Aziz. Maksudnya di sini orang yang paling awal menghimpun hadis dalam bentuk formal atas intruksi dari seorang Khalifah dan ditulis secara menyeluruh, karena tentunya penghimpunan telah dimulai sejak masa Rasulullah di kalangan para sahabat dan tabi’in namun belum menyeluruh, dan bukan berdasarkan intruksi seorang Khalifah.[2]
B.       Masa Tabi’in (Abad II – Abad III) Masa Penyempurnaan
Pada masa ini, terdapat banyak perbedaan bila dibanding masa sebelumnya. Ilmu hadis pada abad ini sudah mulai digunakan dengan maksimal, sekalipun dalam batas persyaratan lisan dan belum terbukukan secara sempurna. Kondisi Masyarakat juga mengalami perubahan, khususnya yang mengalami periwayatan hadis. Perubahan itu nampak dalam beberapa hal berikut :
1.    Bila zaman sahabat hafalan masih relatif kuat, pada masa ini kekuatan hafalan sudah mulai memudar. Hal itu disebabkan oleh banyaknya para perowi hadis dari kalagan sahabat yang berhijrah keluar jazirah Arabiyah dan menetap diluar hingga kawin dan keturunan disana. Masyarakat diluar jazirah arabiyah tidak memiliki tradisi menghafal layaknya masyarakat Arab. Lambat laun generasi yang muncul tidak mampu memaksimalkan daya hafalanya.
2.    Sanad hadis mulai memanjang dan bercabang. Hal itu disebabkan juga oleh berpencarnya para perowi hadis ke daerah-daerah yang berjauhan, sehingga untuk mendapatkan sebuah hadis baru harus memulai periwayatan beberapa perowi yang sekali lagi hal ini menyebabkan sanad menjadi panjang yang pada giliranya berdampak pada kualitas hadis.
3.    Banyak sekte yang bermunculan. Bermunculnya banyak sekte dan aliran yang menyimpang dari jalur yang dianut oleh para sahabat berdampak pada keontetikan hadis. Munculnya hadis-hadis palsu sebagianya juga disebabkan oleh factor ii. Ada sekte khawarij, mu’tazilah, jabariyah, dan lain sebagainya.[3]
Penghimpunan hadis pada abad ini masih campur dengan perkataan sahabat dan fatwanya. Berbeda dengan penulisan pada abad sebelumnya yangmasih berbentuk lembara-lembaran (shuhuf) ataushahifah-shahifah ­(lebaran-lembaran) yang hanya dikumpulkan tanpa klasifikasi kedalam beberapa bab secara tertib pada masa ini udah di himpun perbab. Materi hadisnya dihimpun dari shuhuf yang ditulis oleh para sahabat sebelumnya dan diperoleh melalui periwayatan secara lisan baik dari sahabat atau tabi’in.[4]
Diantara buku-buku yang muncul pada masa ini adalah :
1.   Al-Muwaththa’ yang di tulis Imam Malik,
2.   Al-Mushannaf oleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani,
3.   As-Sunnah ditulis oleh Abd Bakar bin Syaybah,
4.   Monad Asy-Syafi’i.
Kitab-kitab hadis pada masa ini tidak sampai kepada kita kecuali diantaranya Al-Muwaththa’ yang ditulis oleh Imam Malik dan Musnad Asy-Syafi’i.
Teknik pembukuan hadis pada periode ini sebagaimana disebutkan pada nama-nama buku-buku tersebut, yaitu al-mushannaf, al-muwaththa’, dan musnad. Arti istilah-istilah ini adalah :
1.   Al-Mushannaf  dalam bahasa diartikan sesuatu yang tersusun. Dalam istilah yaitu tenik pembukuan hadis yang didasarkan pada klasifikasi hokum fiqih dan didalamnya mencantumkan hadis marfu’, mawquf, dan maqthu’. Misalnya, al-Mushannaf oleh Abdul-Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani’
2.   Al-Muwaththa’ dalam bahasa diartikan sesuatu yang dimudahkan. Dalam istilah Al-muwaththa’ diartikan sama dengan Mushannaf yaitu teknik pembukuan hadis yang yang didasarkan pada klasifikasi hokum fikih dan didalamnya mencantumkan hadis marfu’, mawaquf, dan maqthu’. Misalnya, Al-Muwaththa’ Imam Malik (w.179), dan Al-Muwaththa’ Ibn Dzi’ib Al-Marwazi (w.158),
3.   Musnnad dalam bahasa tempat sandaran sedangkan dalam istilah adalah pembukuan hadis yang didasarkan pada para sahabat yang meriwayatkan Hadisntersebut, seperti Musnad asy-Syafi’I, berarti hadis-hadis yang dihimpun Asy-Syafi’I sistematikanya disandarkan atau didasarkan namapara sahabat yang meriwayatkanya.[5]
C.      Pusat-Pusat Pembinaan Hadis
Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis, sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut, Madinah, Al-Munawaroh, Makkah Al-Mukaromah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalus, Yaman dan Khurasan. Dari sejumlah para sahabat pembinaan hadis pada kota-kota tersebut, ada beberapa orang yang meriwayatkan hadis cukup banyak, antara lain Abu Hurarah, Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik, Aisyah, Abdullah ibn Abbas, Jabir ibn  Abdillah dan Abi Sa’id Al-Khudri.
Pusat pembinaan pertama adalah Madinah karena disinilah Rasulullah SAW menetap setelah hijrah. Di sini pula Rasulullah SAW membina masyarakat Islam yang terdiri atas Muhjirin, dan Ashar dari berbagai suku atau kabilah, disamping dilindunginya umat-umat non Muslim, seperti Yahudi. Para sahabat yang menetap disini diantaranya, Khulafa’ Al-Rasyidin, Abu Hurarah, Siti ‘Aisyah, abdullah bin Umar dan Abu Sa’id Al-Khudri, dengan menghasilkan para pembesar Tabi’in, seperti Sa’id ibn Al-Musyayyab, ‘Urawah ibn Zubair, Ibn Syihab Al-Zuhri, Ubaidullah ibn ‘Utbah ibn mas’ud dan Salim ibn Abdillah ibn Umar.[6]
Diantara para sahabat yang membina hadis di Makkah tercatat nama-nama, seperti Mu’adz ibn Jabal, ‘Atab ibn Asid, Haris ibn Hisyam, utsman ibn Thalhah, dan ‘Utbah ibn Al-Haris. Di antar Tabi’in yang muncul dari sini tercatat nama-nama, seperti Mujtahid ibn Jabar, Atha’ ibn Rabah, Thawus ibn Kaisan, dan ‘Ikrimah maula ibn Abbas.
Diantara para sahabat yang membina hadis diKufah, ialah Ali ibn Abi Thalib, Sa’ad ibn Abi Waqas, dan Abdullah ibn Mas’ud. Di antara para tabi’in yang muncul di sini, ialah Al-Rabi’ibn Qasim, Kamal ibn Zaid Al-Nakha’I, dan Abu Ishaq Al-Sa’bi.[7]
D.      Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadis
Pergolakan politik ini terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal dan perang Siffin, ketika kekuasaan di pegang oleh Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi, akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut, dengan terpecahnya umat Islam kedalam beberapa kelompok (Khawarij, Syiah, Muawiyah, dan golongan mayoritas yang tidak termasuk dalam tiga kelompok tersebut). Secara langsung ataupun tidak, pergolakan politik tersebut memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadis berikutnya. Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif ialah munculnya hadis-hadis palsu (maudu’) untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawanya.
Adapun pengaruh yang berakibat positif adalah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong di adakanya kondifikasi atau tadwin hadis sebagai upaya penyelamat dari pemusnahan dan pemalsuan sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.[8]












BAB II
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak begitu berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Hal ini karena mereka, mengikuti jejak para sahabat yang menjadi guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapai mereka agak berbeda dengan yang dihadapai mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al-Quran sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Di pihak lain, para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam, sehingga para tabi’in dapat mempelajari hadis dari mereka.



















DAFTAR PUSTAKA

        Majid Khon, Abdul, Ulumul Hadis, Jakarta : Amzah, 2009
        Abdul Dzalil, Maman, Ilmu Hadis, Bandung : Pustaka Setia 1999
        Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung : CV Pustaka Setia, 2008
        Suparta, Munzeir, Ilmu Hadis, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002
        B.Smeer, Zeid, Ulumul Hadis Pengantar Studi Praktis, Malang : UIN, 2008
       




[1] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta : Amzah, 2009), hlm. 53.
[2] Ibid, hlm. 54.
[3]Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis,(Malang :UIN, 2008),hlm. 25.
[4] Maman Abdul Djalil, Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 105.
[5] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta : Amzah, 2009), hlm. 55.
[6] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 85-86.
[7] Maman Abd. Djaliel, Ilmu Hadis (Bandung : Pustaka Setia, 2008), hlm. 102.
[8] Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), hlm. 103.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar