MAKALAH
ULUMUL HADIS
Perkembangan Hadis pada
Masa Tabi’in
Dosen
Pengampu:
M. Syaifullah, M.Pd.I
Di susun oleh:
1.
ASTRI LESTARI (1397901)
2.
DINA NIARTIANA
3.
MA’RUF MAHUDI (1398811)
Prodi : PAI
Kelas : D
Semester : II (Dua)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
JURAI SIWO METRO
T.A. 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pada
dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak begitu berbeda
dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Hal ini karena mereka, mengikuti jejak
para sahabat yang menjadi guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapai
mereka agak berbeda dengan yang dihadapai mereka agak berbeda dengan yang
dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al-Quran sudah dikumpulkan dalam satu mushaf.
Di pihak lain, para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan
Islam, sehingga para tabi’in dapat mempelajari hadis dari mereka.
Ketika
pemerintahan dipegang oleh Bani Umayah, wilayah kekuasaan islam telah meliputi
Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan, Samarkand, dan Spanyol, di samping
Madinah, Mekah, Basrah, Syam, dan Khurasan. Pesatnya perluasan wilayah
kekuasaan Islam, dan meningkatnya penyebaran para sahabat ke daerah-daerah
tersebut menjadikan masa ini dikenal dengan masa penyebaran periwayatan hadis (Intisyar
Ar-Riwayah Ila-Amshar).
Untuk
memahami setatus hukum hadis secara benar dan tepat rasanya tidak akan pernah
dicapai kecuali dengan memahami secara benar
proses dan jalur penerimaan hadis serta hal terkait lainnya yang
berhubungan dengan ilmu hadis. dengan demikian, ilmu hadis dengan berbagai sub
bahasanya merupakan sarana utama yang harus dipelajari dan dimengerti oleh
setiap orang yang ingin memahami dengan benar proses penerimaan hadis
Rasulullah SAW.
Sekalipun
ilmu hadis nampak begitu urgen untuk memahami status hadis, namun, buku-buku
yang membahas masalah tersebut dengan uslub yang lugas dan praktis
jarang dijumpai. Padahal, kebutuhan masyarakat, khususnya pelajar maupun
perguruan tinggi terhadap buku tersebut sangatlah mendesak.
Tujuan
umum yang hendak dicapai dari pembuatan makalah ini agar pelajar dan mahasiswa
dapat mengetahui dan memahami dengan baik pentingnya pengetahuan ulum
al-hadist, khususnya hadis dan hubunganya dengan al-Quran.
B. Rumusan
Masalah
1.
Kapankah
pertumbuhan dan penyempurnaan hadits pada masa
tabi’in.
2.
Kapankah
penyempurnaan pada masa tabi’in.
3.
Dimanakah
pusat-pusat pembinaan hadits.
4. Kapankah Pergolakan
Politik dan Pemalsuan Hadis.
C. Tujuan
p[embahasan
1. Untuk
mengetahui pertumbuhan dan
penyempurnaan hadits pada masa tabi’in.
2. Untuk mengetahui dapankah penyempurnaan pada masa
tabi’in.
3. Untuk mrngrtahui dimanakah pusat-pusat pembinaan
hadits.
4.
Untuk
mengetahui kapankah Pergolakan Politik dan
Pemalsuan Hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pertumbuhan
dan Perkembangan Hadis Pada Masa Tabi’in
Pada
masa abad ini disebut Masa Pengondifikasian Hadis (al-jam’u wa at-tadwin).
Kalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H) yakni yang hidup pada akhir abad 1 H
menganggap perlu adanya penghimpunan dan pembukuan Hadis, karena beliau
khawatir lenyapnya ajaran-ajaran Nabi setelah wafatnya para ulama baik
dikalangan sahabat maupun tabi’in. maka beliau intruksikan kepada para gubernur
diseluruh wilayah negeri Islam agar para ulama dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan hadis.
Ų§ُŁْŲøُŲ±ُŁْŲ§
ŲَŲÆِŁْŲ«َ Ų±َŲ³ُŁْŲ§ŁŁŁِ ŲµَŁَّŁ Ų§ŁŁŁُ Ų¹َŁَŁْŁِ ŁَŲ³َŁَّŁ
َ ŁَŲ§َ Ų®ْŁ
ِŲ¹ُŁْŁُ
Lihatlah Hadis Rasulullah kemudian himpunlah ia.
Demikian
juga surat Khalifah yang dikirim kepada Ibn Hazm (w.117 H) :
Ų§ُŁْŲŖُŲØْ
Ų§ِŁَŁَّ ŲØِŁ
َŲ§ ŁَŲ«ْŲØُŲŖُ Ł
ِŁْ Ų§ŁْŲَŲÆِŁْŲ«ِ Ų¹َŁْ Ų±َŲ³ُŁْŁِ Ų§ŁŁŁِ ŲµَŁَّŁ Ų§ŁŁŁُ
Ų¹َŁَŁْŁِ ŁَŲ³َŁَّŁ
َ ŁَŲ„ِŁِّŁ Ų®َŲ“ِŁŲŖُ ŲÆُŲ±ُŁْŲ³َ Ų§ŁْŲ¹ِŁْŁ
ŁَŲ°َŁَŲ§ŲØَ Ų§ْŁŲ¹ُŁَŁ
َŲ§Ų”ِ
Tulislah
kepadaku apa yang tetap padamu dari pada Hadis Rasulullah, sesungguhnya aku
Khawatir hilangnya ilmu dan wafatnya para ulama.[1]
Tidak
diketahui pasti siapa diantara ulama yang lebih dulu dalam melaksanakan
intruksi khalifah tersebut. Sebagian pendapat mengatakan Abu Bakar Muhamad bin
Amr bin Hazm sebagaimana bunyi teks diatas. Pendapat lain mengatakan Ar-Rabi’
bin Shabih, Sa’id bin Arubah, dan muhamad bin Muslim bin Asy-Syihab Az-Zuhri,
Namun pendapat yang paling populer adalah muhamad bin Muslim bin Asy-syihab
Az-Zuhrisedang Ibn Hazm hanya menyampaikan intruksi khalifah keseluruh negeri
kekuasaan dan belum melakukan kondifikasi. Az-Zuhri di nilai sebagai orang
pertama dalam melaksanakan tugas pengondifikasian Hadis dari Khalifah Umar bin
Abdul Aziz, dengan ungkapanya :
“Kami diperintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk
menghimpun sunnah, kami telah
melaksanakanya dari buku ke buku, kemudian dikirim kesetiap wilayah kekuasaan
Sultan satu buku.”
Berdasarkan
inilah para ahli sejarah dan ulama berkesimpulan bahwa Ibn Asy-Syihab Az-Zuhri
orang pertama yang menggondifikasikan hadis pada awal tahun 100 H di bawah Umar
bin Addul Aziz. Maksudnya di sini orang yang paling awal menghimpun hadis dalam
bentuk formal atas intruksi dari seorang Khalifah dan ditulis secara
menyeluruh, karena tentunya penghimpunan telah dimulai sejak masa Rasulullah di
kalangan para sahabat dan tabi’in namun belum menyeluruh, dan bukan berdasarkan
intruksi seorang Khalifah.[2]
B. Masa
Tabi’in (Abad II – Abad III) Masa Penyempurnaan
Pada
masa ini, terdapat banyak perbedaan bila dibanding masa sebelumnya. Ilmu hadis
pada abad ini sudah mulai digunakan dengan maksimal, sekalipun dalam batas
persyaratan lisan dan belum terbukukan secara sempurna. Kondisi Masyarakat juga
mengalami perubahan, khususnya yang mengalami periwayatan hadis. Perubahan itu
nampak dalam beberapa hal berikut :
1. Bila
zaman sahabat hafalan masih relatif kuat, pada masa ini kekuatan hafalan sudah
mulai memudar. Hal itu disebabkan oleh banyaknya para perowi hadis dari kalagan
sahabat yang berhijrah keluar jazirah Arabiyah dan menetap diluar hingga kawin
dan keturunan disana. Masyarakat diluar jazirah arabiyah tidak memiliki tradisi
menghafal layaknya masyarakat Arab. Lambat laun generasi yang muncul tidak
mampu memaksimalkan daya hafalanya.
2. Sanad
hadis mulai memanjang dan bercabang. Hal itu disebabkan juga oleh berpencarnya
para perowi hadis ke daerah-daerah yang berjauhan, sehingga untuk mendapatkan
sebuah hadis baru harus memulai periwayatan beberapa perowi yang sekali lagi
hal ini menyebabkan sanad menjadi panjang yang pada giliranya berdampak pada
kualitas hadis.
3. Banyak
sekte yang bermunculan. Bermunculnya banyak
sekte dan aliran yang menyimpang dari jalur yang dianut oleh para sahabat
berdampak pada keontetikan hadis. Munculnya
hadis-hadis palsu sebagianya juga disebabkan oleh factor ii. Ada sekte
khawarij, mu’tazilah, jabariyah, dan lain sebagainya.[3]
Penghimpunan hadis pada abad ini masih campur dengan perkataan sahabat
dan fatwanya. Berbeda dengan penulisan pada abad sebelumnya yangmasih berbentuk
lembara-lembaran (shuhuf) ataushahifah-shahifah (lebaran-lembaran)
yang hanya dikumpulkan tanpa klasifikasi kedalam beberapa bab secara tertib
pada masa ini udah di himpun perbab. Materi hadisnya dihimpun dari shuhuf yang ditulis oleh para sahabat
sebelumnya dan diperoleh melalui periwayatan secara lisan baik dari sahabat
atau tabi’in.[4]
Diantara buku-buku yang muncul pada masa ini adalah :
1. Al-Muwaththa’
yang di tulis Imam Malik,
2. Al-Mushannaf
oleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani,
3. As-Sunnah ditulis oleh Abd Bakar bin Syaybah,
4. Monad
Asy-Syafi’i.
Kitab-kitab hadis pada masa ini tidak sampai kepada kita kecuali
diantaranya Al-Muwaththa’ yang
ditulis oleh Imam Malik dan Musnad
Asy-Syafi’i.
Teknik pembukuan hadis pada periode ini sebagaimana disebutkan pada
nama-nama buku-buku tersebut, yaitu al-mushannaf,
al-muwaththa’, dan musnad. Arti
istilah-istilah ini adalah :
1. Al-Mushannaf
dalam bahasa
diartikan sesuatu yang tersusun. Dalam istilah yaitu tenik pembukuan hadis yang
didasarkan pada klasifikasi hokum fiqih dan didalamnya mencantumkan hadis
marfu’, mawquf, dan maqthu’. Misalnya, al-Mushannaf oleh Abdul-Razzaq bin
Hammam Ash-Shan’ani’
2. Al-Muwaththa’
dalam bahasa diartikan sesuatu yang dimudahkan. Dalam
istilah Al-muwaththa’ diartikan sama dengan Mushannaf yaitu teknik pembukuan
hadis yang yang didasarkan pada klasifikasi hokum fikih dan didalamnya
mencantumkan hadis marfu’, mawaquf, dan maqthu’. Misalnya, Al-Muwaththa’ Imam
Malik (w.179), dan Al-Muwaththa’ Ibn Dzi’ib Al-Marwazi (w.158),
3. Musnnad dalam bahasa tempat sandaran sedangkan dalam istilah
adalah pembukuan hadis yang didasarkan pada para sahabat yang meriwayatkan
Hadisntersebut, seperti Musnad asy-Syafi’I, berarti hadis-hadis yang dihimpun
Asy-Syafi’I sistematikanya disandarkan atau didasarkan namapara sahabat yang
meriwayatkanya.[5]
C. Pusat-Pusat
Pembinaan Hadis
Tercatat
beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis, sebagai tempat
tujuan para tabi’in dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut, Madinah,
Al-Munawaroh, Makkah Al-Mukaromah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan
Andalus, Yaman dan Khurasan. Dari sejumlah para sahabat pembinaan hadis pada
kota-kota tersebut, ada beberapa orang yang meriwayatkan hadis cukup banyak,
antara lain Abu Hurarah, Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik, Aisyah, Abdullah
ibn Abbas, Jabir ibn Abdillah dan Abi
Sa’id Al-Khudri.
Pusat
pembinaan pertama adalah Madinah karena disinilah Rasulullah SAW menetap
setelah hijrah. Di sini pula Rasulullah SAW membina masyarakat Islam yang
terdiri atas Muhjirin, dan Ashar dari berbagai suku atau kabilah,
disamping dilindunginya umat-umat non Muslim, seperti Yahudi. Para sahabat yang
menetap disini diantaranya, Khulafa’ Al-Rasyidin, Abu Hurarah, Siti ‘Aisyah,
abdullah bin Umar dan Abu Sa’id Al-Khudri, dengan menghasilkan para pembesar
Tabi’in, seperti Sa’id ibn Al-Musyayyab, ‘Urawah ibn Zubair, Ibn Syihab
Al-Zuhri, Ubaidullah ibn ‘Utbah ibn mas’ud dan Salim ibn Abdillah ibn Umar.[6]
Diantara
para sahabat yang membina hadis di Makkah tercatat nama-nama, seperti Mu’adz
ibn Jabal, ‘Atab ibn Asid, Haris ibn Hisyam, utsman ibn Thalhah, dan ‘Utbah ibn
Al-Haris. Di antar Tabi’in yang muncul dari sini tercatat nama-nama, seperti
Mujtahid ibn Jabar, Atha’ ibn Rabah, Thawus ibn Kaisan, dan ‘Ikrimah maula ibn
Abbas.
Diantara para sahabat yang membina hadis diKufah, ialah
Ali ibn Abi Thalib, Sa’ad ibn Abi Waqas, dan Abdullah ibn Mas’ud. Di antara
para tabi’in yang muncul di sini, ialah Al-Rabi’ibn Qasim, Kamal ibn Zaid
Al-Nakha’I, dan Abu Ishaq Al-Sa’bi.[7]
D. Pergolakan
Politik dan Pemalsuan Hadis
Pergolakan
politik ini terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal dan
perang Siffin, ketika kekuasaan di pegang oleh Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi,
akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut, dengan terpecahnya umat Islam
kedalam beberapa kelompok (Khawarij, Syiah, Muawiyah, dan golongan mayoritas
yang tidak termasuk dalam tiga kelompok tersebut). Secara langsung ataupun
tidak, pergolakan politik tersebut memberikan pengaruh terhadap perkembangan
hadis berikutnya. Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif ialah munculnya
hadis-hadis palsu (maudu’) untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing
kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawanya.
Adapun
pengaruh yang berakibat positif adalah lahirnya rencana dan usaha yang
mendorong di adakanya kondifikasi atau tadwin hadis sebagai upaya penyelamat
dari pemusnahan dan pemalsuan sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.[8]
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada
dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak begitu berbeda
dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Hal ini karena mereka, mengikuti jejak
para sahabat yang menjadi guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapai
mereka agak berbeda dengan yang dihadapai mereka agak berbeda dengan yang
dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al-Quran sudah dikumpulkan dalam satu mushaf.
Di pihak lain, para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah
kekuasaan Islam, sehingga para tabi’in dapat mempelajari hadis dari mereka.
DAFTAR
PUSTAKA
Majid Khon, Abdul, Ulumul Hadis, Jakarta : Amzah, 2009
Abdul Dzalil, Maman, Ilmu Hadis, Bandung : Pustaka Setia 1999
Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung : CV Pustaka Setia, 2008
Suparta, Munzeir, Ilmu Hadis, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002
B.Smeer, Zeid, Ulumul Hadis Pengantar Studi Praktis, Malang : UIN, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar