MAKALAH MANDIRI
USHUL FIQIH
ISTIHSAN DAN MASHALAH MURSALAH
Disusun Oleh :
Nama : MA’RUF MAHUDI
Kelas : D
NPM : 1398811
Semester : II
(Dua)

SEKOLAH TINGGI AGAM ISLAM NEGERI
(STAIN) JURAI SIWO METRO
T.A 2014
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT. Atas rahmat dan hidayahNYA penulis akhirnya dapat
menyelesaikan makalah tentang “ Istihsan Dan Mashalah Mursalah”.
Dalam
penyusunan makalah ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak, oleh
karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada
semua pihak yang telah ikut menyelesaikan pembuatan makalah ini.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik isi maupun
penulisannya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun demi perbaikan dan penambahan pengetahuan dimasa mendatang.
Akhirnya
penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin…
Metro, April 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL .................................................................................... i
KATA
PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR
ISI ................................................................................................. iii
BAB
I PENDAHULUAN
.................................................................... 1
A. Latar Belakang ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................. 2
BAB
II PEMBAHASAN ....................................................................... 3
A. Pengertian Istihsan................................................................. 3
B. Dasar Hukum Istihsan........................................................... 3
C. Macam-Macam Istihsan........................................................ 4
D. Kehujjahan
Istihsan.............................................................. 6
E. Kontradiksi
Istihsan dalam Pandangan Ulama..................... 7
BAB III PENUTUP.................................................................................. 9
A. Kesimpulan............................................................................. 9
B. Saran....................................................................................... 9
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu Ushul
Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad
dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika
dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan
sebagai salah satu syarat mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar
proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang
semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu “penjaga”nya.
Meskipun demikian, ada satu fakta yang
tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta
menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping
faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan kesahihan
suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian
masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuluyyin.
Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian
ahli Ushul menyebutnya : al-Ushul al-Mukhtalaf fiha), atau
“Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan
penyimpulan hukum. Salah satu dalil itu adalah apa yang dikenal dengan al-Istihsan
(selanjutnya disebut sebagai Istihsan) serta Mashalih
Mursalah.
Dalam makalah ini, penulis akan
memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan masalah al-Istihsan dan Mashalah Mursalah, pandangan
para ulama tentangnya, serta beberapa hal lain yang terkait dengannya. Untuk
pembahasan selengkapnya akan diuraikan pada bab selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian Istihsan ?
2. Apa sajakah dasar hukum Istihsan ?
3.
Apa sajakah macam-macam Istihsan ?
4.
Bagaimanakah kehujjahan Istihsan ?
5. Bagaimanakah kontradiksi Istihsan dalam pandangan ulama ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Istihsan
Istihsan menurut bahasa
adalah menganggap sesuatu itu baik. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqh
istihsan ialah berpalingnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang jali (nyata)
kepada tuntutan qiyas yang khafiy (samar),
atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitsnaiy
(pengecualian) dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya dan memenangkan
perpalingan ini.
Apabila terjadi suatu
kejadian dan tidak ada nash mengenai hukumnya, dan untuk menganalisisnya
terdapat dua aspek yang berbeda, yaitu:
1. aspek
yang nyata yang menurut suatu hukum tertentu,
2. aspek
yang tersembunyi yang menghendaki hukum
lain.
Selanjutnya
pada diri mujtahid terdapat dalil yang mengunggulkan segi analisis yang
tersembunyi, lalu ia berpaling dari aspek analisis yang nyata, maka ini disebut
dengan nama :Istihsan, menurut istilah Syara’. Demikian pula apabila ada hukum
yang bersifat kulli (umum), namun pada diri si mujtahid ada dalil yang menuntut
pengecualian kasuistis dari hukum yang bersifat kulli ( umum) tersebut dan
menuntut hukum lainnya, maka ini juga
menurut syara’ disebut dengan istihsan.
B. Dasar Hukum Istihsan
1. Alqur’an
tûïÏ%©!$#
tbqãèÏJtFó¡o
tAöqs)ø9$#
tbqãèÎ6Fusù
ÿ¼çmuZ|¡ômr&
4 y7Í´¯»s9'ré&
tûïÏ%©!$#
ãNßg1yyd
ª!$#
( y7Í´¯»s9'ré&ur
öNèd
(#qä9'ré&
É=»t7ø9F{$#
ÇÊÑÈ
18.
Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya[1311]. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan
mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS. Al-Zumar:18).
[1311] maksudnya ialah mereka yang mendengarkan ajaran-ajaran Al Quran dan
ajaran-ajaran yang lain, tetapi yang diikutinya ialah ajaran-ajaran Al Quran
Karena ia adalah yang paling baik.
2. Hadits
Hadits
Nabi saw:
فَمَا
رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin
sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang
dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”.
C. Macam-Macam Istihsan
1. Istihsan
Qiyasi
Yaitu menggunakan Qiyas khafi (samar)
dan meninggalkan Qiyas jali (nyata) karena ada petunjuk untuk itu. Istihsan ini
terjadi pada suatu kasus yang mungkin dilakukan padanya salah satu dari dua
bentuk qiyas, yaitu qiyas jali dan qiyas khafi.
2
Istihsan Istisnaiy
Yaitu hukum pengecualian
dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut.
Istihsan
Istisnaiy terbagi menjadi beberapa macam, yaitu :
Istihsan
bin-nash, yaitu hukum pengecualian berdasarkan nash (al-Qur’an atau As
-Sunnah) dari kaidah yang bersifat umum yang berlaku bagi kasus-kasus serupa.
Istihsan
berlandaskan ijma’, yaitu terjadinya sebuah ijma’ baik yang sharih maupun
sukuti terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.
Istihsan yang berlandaskan ‘urf
(adat/kebiasaan), yaitu meninggalkan apa yang menjadi konsekuensi qiyas
menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku –baik ‘urf yang
bersifat perkataan maupun perbuatan-.
Istihsan yang didasarkan atas maslahah
mursalah, yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau
kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang
darurat itu atau mencegah kemudharatan.
Sementara ulama hanafi membagi istihsan kepada 6 macam yaitu:
1. Istihsan bi an-annas yaitu
istihsan berdasarkan ayat atau hadist, maksudnya adalah
ada
ayat atau hadits tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah umum. Contohnya dalam masalah wasiat. Menurut ketentuan umum atau qiyas
wasiat itu tidak boleh, karena sifat pemindahan hak milik kepada orang yang
berwasiat dilakukan ketika orang yang berwasiat tidak cakap lagi yaitu setelah
wafat.
2. Istihsan ijma’ Yaitu istihsan yang didasarkan kepada ijma’. Contoh:
dewasa ini yang sering terjadi adalah dalam kasus pemandian
umum. Menurut ketentuan kaidah umum, jasa pemandian umum itu harus jelas yaitu
berapa lama seseorang mandi dan berapa jumlah air yang dipakai, akan tetapi
apabila hal ini dilakukan maka akan menyulitkan orang banyak. Oleh sebab itu
para ulama sepakat menyatakan bahwa boleh mempergunakan jasa pemandian umum
sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lama waktu yang dipakainya.
3. Istihsan bi al qiyas al khafi. Istihsan
dengan qiyas kahfi dilakukan karena adanya pertentangan antara dua qiyas, bila terjadi pertentangan maka yang
diutamakan adalah qiyas mempunyai pengaruh lebih kuat dan lebih sesuai dengan jenis illat yang ditetapkan syara’ yang merupakan dasar qiyas. Apabila fuqaha menghadapi masalah yang dapat
dikembalikannya kepada dua dasar itu maka mereka memilih qiyas yang mempunyai
pengaruh hukum yang kuat. Golongan hanafiayah mencontohkan dengan tidak
najisnya sisa minuman burung buas, qiyas menetapkan najis terhadapnya dan
mengqiyaskannya kepada binatang buas dengan illat bahwa daging keduanya najis.
4. Istihsan bi al maslahah yaitu Istihsan berdasarkan kemaslahatan.
Ulama malikiah mencontohkan membolehkan dokter melihat aurat
wanita dalam berobat.
5.
Istihsan bi al ‘urf yaitu Istihsan berdasarkan adat kebiasaan
yang berlaku umum. Contohnya (lihat istihsan berdasarkan ijma’)
6. Istihsan bi adh dharurah. Istihsan berdasarkan keadaan darurat.
Contohnya dalam kasus sumur kemasukan najis. Menurut kaidah
umum sumur itu sulit untuk dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air sumur
tersebut, karena sumur yang sumbernya dari mata air sulit untuk dikeringkan.
Ulama hanafiah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini, untuk menghilangkan
najis cukup dengan memasukan beberapa galon air kedalam sumur, karena keadaan
darurat menghendaki agar orang tidak mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan
air untuk beribadah dan kebutuhan lainya.
D. Kehujjahan Istihsan
Dari
definisi istihsan dan penjelasan terhadap kedua macamnya jelaslah bahwasanya
pada hakekatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena
sesungguhnya hukum istihsan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya
berdalilkan Qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan terhadap qiyas yang jelas,
karena adanya beberapa faktor yang memenangkannya yang membuat tenang hati si
mujtahid. Itulah segi istihsan. Sedangkan bentuk yang kedua dari istihsan ialah
bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut pengecualian kasuistis dari hukum
kulli (umum), dan ini juga yang disebut dengan segi istihsan.
Mereka
yang mempergunakan hujjah berupa istihsan, mereka ini kebanyakan dari ulama
Hanafiyyah, maka dalil mereka terhadap kehujjahannya, ialah : bahwasanya
beristidlal dengan istihsan merupakan istidlal dengan dasar qiyas yang nyata,
atau ia merupakan pentarjian suatu qiyas atau qisas yang kontradiktif
dengannya, dengan adanya dalil yang menuntut pentarjihan ini, atau ia merupakan
istidlal dengan kemaslahatan mursalah (umum)
berdasarkan pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum). Semuanya ini merupakan istidlal yang shahih.
E.
Kontradiksi Istihsan dalam Pandangan Ulama
1. Madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali berpendapat bahwa
istihsan dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum dengan beberapa
alasan, antara lain:
“yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti
apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi
Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal’’[QS. Az-Zumar
(39:18)].
2. Imam Muhammad ibn Idris al-Syafi’I, pendiri Mazhab Syafi’i,
tidak menerima istihsan sebagai landasan hukum. Menurut beliau, barang siapa
yang menetapkan hukum berlandaskan istihsan sama dengan membuat-buat syariat
baru dengan hawa nafsu. Alasannya antara lain :
“Dan
tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang
dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami
lupakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka
dihimpunkan.” [QS. Al-An’am (06:38)]
“dan
hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang
telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah
diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan
menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan
sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” [QS.Al-Maidah (05:49)]
“keterangan-keterangan (mu'jizat) dan
kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan”. [QS.An-Nahl (16:44)]
Menurut Wahbah
Az-Zuhaili, adanya perbedaan pendapat tersebut disebabkan perbedaan dalam
mengartikan istihsan. Imam Syafi’i membantah istihsan yang didasarkan atas hawa
nafsu tanpa berdasarkan dalil syara’. Sedangkan istihsan yang digunakan oleh
para penganutnya adalah men-tarjih (menganggap kuat) salah satu dari dua dalil
yang bertentangan karena dipandang lebih dapat menjangkau tujuan pembentukan
hukumnya.
Dalam
gambaran tersebut, sasaran dari kritikan Imam Syafi’i di atas, bukanlah
istihsan yang telah dirumuskan secara definitif kalangan di kalangan
penganutnya, tetapi sasarannya adalah praktik-praktik istihsan yang terdapat di
Irak dimana secara ilmiah belum dirumuskan secara definitif.
F. Pengertian Maslahah Mursalah
Kata mashlahah memiliki dua arti,
yaitu: maslahah berarti manfa’at baik secara timbangan kata yaitu sebagai
masdar, maupun secara makna dan Maslahah fi’il (kata kerja) yang mengandung
ash-Shalah yang bermakna an-naf’u. Dengan demikian, mashlahah jika melihat arti
ini merupakan lawan kata dari mafsadah. Maslahat kadang-kadang disebut pula
dengan ( الاستصلاح ) yang berarti mencari yang baik ( طلب الاصلاح).
Menurut istilah ulama ushul ada
bermacam-macam ta`rif yang diberikan di antaranya: Imam Ar-Razi
mendefinisikan mashlahahyaitu perbuatan yang bermanfaat yang telah
ditujukan oleh syari’ (Allah) kepada hamba-Nya demi memelihara dan menjaga
agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendanya. Imam Al-Ghazali
mendefinisikan sebagai berikut: Maslahah pada dasarnya ialah meraih
manfaat dan menolak madarat. Selanjutnya is menegaskan maksud dari statemen di
atas bahwa maksudnya adalah menjaga maqasid as-syari’ah yang lima, yaitu agama,
jiwa, akal, nasab, dan harta. Selanjutnya ia menegaskan, setiap perkara yang
ada salah satu unsur dari maqashid as-syari’ah maka ia disebut mashlahah.
Sebaliknya jika tidak ada salah satu unsur dari maqashid as-syari’ah, maka ia
merupakan mafsadat, sedang mencegahnya adalah mashlahah.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat
ditarik kesimpuan bahwa mashlahah mursalah merupakan suatu metode ijtihad dalam
rangka menggali hukum (istinbath) Islam, namun tidak berdasarkan pada nash
tertentu, namun berdasarkan kepada pendekatan maksud diturunkannya hukum syara’
(maqashid as-syari’ah). Kemaslahatan yang menjadi tujuan syara’ bukan
kemaslahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan dan hawa nafsu saja. Sebab
tujuan pensyari’atan hukum tidak lain adalah untuk merealisasikan kemaslahatan
manusia dalam segala aspek kehidupan dunia agar terhindar dari berbagai bentuk
kerusakan.
Penetapan hukum Islam melalui pendekatan masqashid
asy-syari’ah merupakan salah satu bentuk pendekatan dalam menetapkan hukum
syara’ selain melalui pendekatan kebahasaan yang sering digunakan oleh para
ulama. Jika dibandingkan dengan penetapan hukum Islam melalui pendekatan
masqashid asy-syari’ah dengan penetapan hukum Islam melalui pendekatan kaidah
kebahasaan, maka pendekatan melalui maqashid asy-syari’ah dapat membuat hukum
Islam lebih fleksibel, luwes karena pendekatan ini akan menghasilkan hukum
Islam yang bersifat kontekstual. Sedangkan pengembangan hukum Islam melalui
kaidah kebahasaan akan menghilangkan jiwa fleksibilitas hukum Islam. Hukum
Islam akan kaku (prigid) sekaligus akan kehilangan nuansa kontekstualnya.
G. Syarat-syarat Maslahah Mursalah
Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah
dalam pembentukan hukum (Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu
yang dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan
keinginan yang merusakkan manusia dan agama. Sehingga seseorang tidak
menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai
syari`atnya. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
- Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan, Ahlul hilli wal aqdi dan mereka yang mempunyai disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka. Maka maslahah-maslahah yang bersifat dugaan, sebagaimana yang dipandang sebagian orang dalam sebagian syari`at, tidaklah diperlukan, seperti dalih mashlahah yang dikatakan dalam soal larangan bagi suami untuk menalak isterinya, dan memberikan hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini menurut pandangan kami tidak mengandung terdapat maslahah. Bahkan hal itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan masyarakat, hubungan suami dengan isterinya ditegakkan di atas suatu dasar paksaan undang-undang, tetapi bukan atas dasar keikhlasan, kasih sayang, dan cinta-mencintai.
- Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit. Imam-Ghazali memberi contoh tentang maslahah yang bersifat menyeluruh ini dengan suatu contoh: orang kafir telah membentengi diri dengan sejumlah orang dari kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang membunuh mereka demi memelihara kehidupan orang Islam yang membentengi mereka, maka orang kafir akan menang, dan mereka akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum muslimin memerangi orang islam yang membentengi orang kafir maka tertolaklah bahaya ini dari seluruh orang Islam yang membentengi orang kafir tersebut. Demi memlihara kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan musuh-musuh mereka.
- Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syari`.Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan oleh Syari`. Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju oleh Islam.
H.
Macam-macam Maslahah Mursalah
Maslahat dari segi pembagiannya dapat dibedakan kepada
dua macam, yaitu dilihat dari segi tingkatan dan eksistensinya. Dari
segi tingkatan kepada tiga bagian, yaitu:
a. Maslahah dharuriyah (Primer).
a. Maslahah dharuriyah (Primer).
Maslahah dharuriyah adalah
perkara – perkara yang menjadi tempat
tegaknya kehidupan manusia, yang bila
ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan
manusia, timbullah fitnah, dan kehancuran yang
hebat. Perkara-perkara ini dapat dikembalikan
kepada lima perkara, yang merupakan perkara pokok yang
harus dipelihara, yaitu:
1) Jaminan keselamatan jiwa (al-muhafadzah alan-nafs)
1) Jaminan keselamatan jiwa (al-muhafadzah alan-nafs)
2) Jaminan keselamatan akal (al-muhafadzhoh alal-aql)
3) Jaminan keselamatan keluarga dan keturunan (al-muhafadzoh alan-nasl)
4) Jaminan keselamatan harta benda (al-muhafadzoh alal-maal)
5) Jaminan keselamatan agama/kepercayaan (al-muhafadzoh alad-diin)
Kemaslahatan dalam taraf ini mencakup lima prinsip dasar universal dari pensyari’atan atau disebut juga dengan konsep maqosidus syar’i. Jika hal ini tidak terwujud maka tatakehidupan akan timpang kebahagiaan akhirat tak tercapai bahkan siksaan akan mengancam. Oleh karena itu kelima macam maslahat ini harus dipelihara dan dilindungi.
b. Maslahah Hajjiyah (Sekunder).
3) Jaminan keselamatan keluarga dan keturunan (al-muhafadzoh alan-nasl)
4) Jaminan keselamatan harta benda (al-muhafadzoh alal-maal)
5) Jaminan keselamatan agama/kepercayaan (al-muhafadzoh alad-diin)
Kemaslahatan dalam taraf ini mencakup lima prinsip dasar universal dari pensyari’atan atau disebut juga dengan konsep maqosidus syar’i. Jika hal ini tidak terwujud maka tatakehidupan akan timpang kebahagiaan akhirat tak tercapai bahkan siksaan akan mengancam. Oleh karena itu kelima macam maslahat ini harus dipelihara dan dilindungi.
b. Maslahah Hajjiyah (Sekunder).
Maslahah hajjiyah ialah, semua bentuk perbuatan dan
tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada
maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud,
tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan
menghilangkan kesempitan. Hajjiyah ini tidak rusak dan
terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah
ini berlaku dalam lapangan ibadah, adat,
muamalat, dan dan bidang jinayat. Termasuk
kategori hajjiyat dalam perkara mubah ialah diperbolehkannya sejumlah bentuk
transaksi yang dibutuhkan oleh manusia
dalam bermu’amalah, seperti akad
muzaro’ah, musaqoh, salam maupun murobahah.
Contoh lain dalam hal ibadah ialah bolehnya berbuka puasa bagi musafir, dan
orang Termasuk dalam hal hajjiyah ini, memelihara kemerdekaan
pribadi, kemerdekaan beragama. Sebab dengan
adanya kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan beragama, luaslah
gerak langkah hidup manusia. Melarang / mengharamkan
rampasan dan penodongan termasuk juga dalam hajjiyah.
c. Maslahah tahsiniyah atau kamaliyat (Pelengkap/tersier)
Maslahah tahsiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak.
Kemaslahatan ini lebih mengacu pada keindahan saja ( زينة للحياة) sifatnya hanya untuk kebaikan dan kesempurnaan. Sekiranya tidak dapat diwujudkan atau dicapai oleh manusia tidaklah sampai menyulitkan atau merusak tatanan kehidupan mereka, tetapi ia dipandang penting dan dibutuhkan. Tahsiniyah juga masuk dalam lapanganan ibadah, adat, muamalah, dan bidang uqubah. Lapangan ibadah misalnya kewajiban bersuci dari najis, menutup aurat, memakai pakaian yang baik-baik ketika akan shalat mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan-amalan sunah, seperti shalat sunah, puasa sunah, bersedekah dan lain-lain.
Lapangan adat, seperti menjaga adat makan, minum, memilih makanan-makanan yang baik-baik dari yang tiak baik/bernajis. Dalam lapangan muamalah, misalnya larangan menjual benda – benda yang bernajis, tidak memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi dari kebutuhannya. Dalam lapangaan uqubat, misalnya dilarang berbuat curang dalam timbangan ketika berjual beli, dalam peperangan tidak boleh membunuh wanita, anak-anak, pendeta, dan orang-orang yang sudah lanjut usia.
Di antara contoh tahsiniyat yang berkaitan dengan harta ialah diharamkannya memalsu barang. Perbuatan ini tidak menyentuh secara langsung harta itu sendiri (eksistensinya), tetapi menyangkut kesempurnaanya. Hal itu berlawanan kepentingan dengan keinginan membelanjakan harta secara terang dan jelas. Jelaslah bahwa dalam hal itu tidak membuat cacat terhadap pokok harta (ashul mal), akan tetapi berbenturan dengan kepentingan orang yang membelanjakan hartanya, yang mungkin masih bisa dihindari dangan jalan ihtiyath. Seperti juga contoh pensyari ‘atan thoharoh sebelum shalat, anjuran berpakaian dan berpenampilan rapih pengharaman makanan-makanan yang tidak baik dan hal-hal serupa lainnya.
c. Maslahah tahsiniyah atau kamaliyat (Pelengkap/tersier)
Maslahah tahsiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak.
Kemaslahatan ini lebih mengacu pada keindahan saja ( زينة للحياة) sifatnya hanya untuk kebaikan dan kesempurnaan. Sekiranya tidak dapat diwujudkan atau dicapai oleh manusia tidaklah sampai menyulitkan atau merusak tatanan kehidupan mereka, tetapi ia dipandang penting dan dibutuhkan. Tahsiniyah juga masuk dalam lapanganan ibadah, adat, muamalah, dan bidang uqubah. Lapangan ibadah misalnya kewajiban bersuci dari najis, menutup aurat, memakai pakaian yang baik-baik ketika akan shalat mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan-amalan sunah, seperti shalat sunah, puasa sunah, bersedekah dan lain-lain.
Lapangan adat, seperti menjaga adat makan, minum, memilih makanan-makanan yang baik-baik dari yang tiak baik/bernajis. Dalam lapangan muamalah, misalnya larangan menjual benda – benda yang bernajis, tidak memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi dari kebutuhannya. Dalam lapangaan uqubat, misalnya dilarang berbuat curang dalam timbangan ketika berjual beli, dalam peperangan tidak boleh membunuh wanita, anak-anak, pendeta, dan orang-orang yang sudah lanjut usia.
Di antara contoh tahsiniyat yang berkaitan dengan harta ialah diharamkannya memalsu barang. Perbuatan ini tidak menyentuh secara langsung harta itu sendiri (eksistensinya), tetapi menyangkut kesempurnaanya. Hal itu berlawanan kepentingan dengan keinginan membelanjakan harta secara terang dan jelas. Jelaslah bahwa dalam hal itu tidak membuat cacat terhadap pokok harta (ashul mal), akan tetapi berbenturan dengan kepentingan orang yang membelanjakan hartanya, yang mungkin masih bisa dihindari dangan jalan ihtiyath. Seperti juga contoh pensyari ‘atan thoharoh sebelum shalat, anjuran berpakaian dan berpenampilan rapih pengharaman makanan-makanan yang tidak baik dan hal-hal serupa lainnya.
Dilihat dari segi eksistensi atau
wujudnya para ulama ushul, juga membagi mashlaha menjadi tiga macam,
yaitu:
a. Maslahat Mu’tabarah
Mashlalah mu’tabarah ialah kemashlahatan yang terdapat dalam nash yang secara tegas menjelaskan dan mengakui kebenarannya. Dengan kata lain yakni kemaslahatan yang diakui oleh syar’i dan terdapatnya dalil yang jelas, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad al – Said Ali Abd. Rabuh Yang masuk dalam mashlahat ini adalah semua kemaslahatan yang dijelaskan dan disebutkan oleh nash, seperti memelihara agama, jiwa, keturunan dan harta benda, yang selanjutnya kita sebut dengan maqashid asy-syari’ah. Oleh karena itu, Allah Swt telah menetapkan agar berusaha dengan untuk melindungi agama, melakukan qishas bagi pembunuhan, menghukum pemabuk demi pemeliharaan akal, menghukum pelaku zina dan begitu pula menghukum pelaku pencurian. Seluruh ulama sepakat bahwa semua maslahat yang dikategorikan maslahah mu’tabarah wajib ditegakkan dalam kehidupan, karena dilihat dari segi tingkatan ia merupakan kepentingan ditegakkan.
b.Yang dimaksud dengan maslahat mulghah ini ialah maslahat yang bertentangan dengan ketentuan nash. Dengan kata lain, maslahat yang tertolak karena ada dalil yang menunjukkan bahwa ia bertentangan dengan dalil yang jelas. Dapat disimpulkan juga bahwa syara’ menyikapi maslahat ini dengan menolak sebagai variabel penetap hukum (illat). Contoh: menyamakan pembagian warisan antara seorang perempuan dengan saudara laki-lakinya. Penyamakan ini memang banyak maslahatnya namun berlawanan dengan ketentuan nash. Namun penyamakan ini dengan alasan kemaslahatan, penyelesaian kasus seperti inilah yang disebut dengan Maslahat Mulgoh. Seperti juga kasus bentuk sanksi kafarat bagi orang yang menggauli istrinya di siang hari pada bulan Ramadhan yang terdiri dari tiga macam kafarat. Menurut konsep kaffarat ini dogmatik yang menghendaki adanya kemaslahatan berupa tindakan jera ( al-zajr) tanpa mempertimbangkan maslahat lainnya maka tidak diragukan bahwa menurut sebagian orang ia tidak dapat dijadikan illat hukum karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Jadi kafarat ini harus dilakukan secara berurutan Lain halnya dengan pendapat Imam Malik ia mengatakan boleh memilih diantara ketiga kafarat itu dengan tujuan demi kemaslahatan yang lebih tepat.
a. Maslahat Mu’tabarah
Mashlalah mu’tabarah ialah kemashlahatan yang terdapat dalam nash yang secara tegas menjelaskan dan mengakui kebenarannya. Dengan kata lain yakni kemaslahatan yang diakui oleh syar’i dan terdapatnya dalil yang jelas, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad al – Said Ali Abd. Rabuh Yang masuk dalam mashlahat ini adalah semua kemaslahatan yang dijelaskan dan disebutkan oleh nash, seperti memelihara agama, jiwa, keturunan dan harta benda, yang selanjutnya kita sebut dengan maqashid asy-syari’ah. Oleh karena itu, Allah Swt telah menetapkan agar berusaha dengan untuk melindungi agama, melakukan qishas bagi pembunuhan, menghukum pemabuk demi pemeliharaan akal, menghukum pelaku zina dan begitu pula menghukum pelaku pencurian. Seluruh ulama sepakat bahwa semua maslahat yang dikategorikan maslahah mu’tabarah wajib ditegakkan dalam kehidupan, karena dilihat dari segi tingkatan ia merupakan kepentingan ditegakkan.
b.Yang dimaksud dengan maslahat mulghah ini ialah maslahat yang bertentangan dengan ketentuan nash. Dengan kata lain, maslahat yang tertolak karena ada dalil yang menunjukkan bahwa ia bertentangan dengan dalil yang jelas. Dapat disimpulkan juga bahwa syara’ menyikapi maslahat ini dengan menolak sebagai variabel penetap hukum (illat). Contoh: menyamakan pembagian warisan antara seorang perempuan dengan saudara laki-lakinya. Penyamakan ini memang banyak maslahatnya namun berlawanan dengan ketentuan nash. Namun penyamakan ini dengan alasan kemaslahatan, penyelesaian kasus seperti inilah yang disebut dengan Maslahat Mulgoh. Seperti juga kasus bentuk sanksi kafarat bagi orang yang menggauli istrinya di siang hari pada bulan Ramadhan yang terdiri dari tiga macam kafarat. Menurut konsep kaffarat ini dogmatik yang menghendaki adanya kemaslahatan berupa tindakan jera ( al-zajr) tanpa mempertimbangkan maslahat lainnya maka tidak diragukan bahwa menurut sebagian orang ia tidak dapat dijadikan illat hukum karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Jadi kafarat ini harus dilakukan secara berurutan Lain halnya dengan pendapat Imam Malik ia mengatakan boleh memilih diantara ketiga kafarat itu dengan tujuan demi kemaslahatan yang lebih tepat.
I.
Ikhtilaf Para Ulama tentang Maslahah Al Mursalah
Masalah al Mursalah tidak diterima oleh sebagian umat Islam, khususnya mayoritas penganut
mazhab asy-Syafi’iah sebagai dasar penetapan hukum Islam. Dalam hal ini ada
beberapa argumen yang mereka ajukan di antaranya yaitu;
Pertama, masalahat itu ada yang dibenarkan oleh syara’, ada yang ditolak oleh
syara’ dan ada pula yang diperselisihkan. Maslahat kategori pertama dan
kategori kedua (yang dibenarkan dan yang ditolak oleh syara’) tidak ada
pertentangan di kalangan umat Islam. Maslahat kategori pertama harus diterima
sebagai dasar penetapan hukum Islam, dan maslahat kategori kedua harus ditolak
sebagai dasar penetapan hukum Islam. Sedangkan maslahat kategori ketiga
diperselisihkan, sebagian menerima sebagai dasar penetapan hukum Islam, dan
sebagian yang lain menolaknya. Sesuai dengan definisi di atas, maslahat
kategori ketiga inilah yang menjadi kajian dari maslahah-mursalah atau istislah.
Dengan demikian menurut kelompok umat Islam yang tidak menerima maslahah-mursalah
sebagai dasar penetapan hukum Islam berpendapat, bahwa memandang maslahah-mursalah
(kategori ketiga) sebagai hujjah berarti mendasarkan penetapan hukum
Islam kepada sesuatu yang meragukan.
Kedua, memandang maslahah-mursalah sebagai hujjah berarti menodai
kesucian hukum Islam karena penetapan hukum Islam tidak berdasarkan kepada nass-nass
tertentu, tetapi hanya mengikuti keinginan hawa nafsu belaka dengan dalih
maslahat. Dengan dalih maslahat dikhawatirkan akan banyak penetapan hukum Islam
berdasarkan kepada kepentingan hawa nafsu.
Ketiga, Bagi golongan ini, hukum Islam telah lengkap dan sempurna. Dengan
menjadikan maslahat sebagai dasar dalam menetap hukum Islam, berarti umat Islam
tidak mengakui prinsip kelengkapan dan kesempurnaan hukum Islam. Artinya hukum
Islam belum lengkap dan sempurna, masih ada yang kurang.
Keempat, memandang maslahat sebagai hujjah akan membawa dampak terjadinya
perbedaan hukum Islam terhadap masalah yang sama (disparitas) disebabkan
perbedaan kondisi dan situasi. Dengan demikian akan menafikan prinsip
universalitas, keluasan dan fleksibelitas hukum Islam
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh sekelompok umat
Islam yang tidak menerima maslahat (kategori ketiga) sebagai dasar menetapkan
hukum Islam di atas, dapat disanggah dengan beberapa alasan.
Pertama, dengan memandang maslahat sebagai hujjah tidak berarti mendasarkan
penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang meragukan, sebab maslahat tersebut
ditentukan lewat sekian banyak dalil dan pertimbangan, sehingga menghasilkan zann
yang kuat (sesuatu yang lemah menjadi kuat). Dalam ilmu fiqih dikenal
istilah yakfi al-‘amal biz-zann, beramal berdasarkan kepada zann dianggap
cukup karena semua fiqih adalah zann. Dengan demikian tidak dapat
dikatakan bahwa menjadikan maslahat kategori ketiga sebagai hujjah berarti
memilih dua kemungkinan tanpa dalil, karena jika dibandingkan maslahat yang
dibenarkan oleh syara’ dengan maslahat yang ditolak oleh syara’,
maka maslahat yang dibenarkan oleh syara’ jauh lebih banyak jumlahnya
dari pada maslahat yang ditolak oleh syara’. Dengan demikian jika ada
suatu kemaslahatan, tetapi tidak ada dalil yang membenarkannya atau menolaknya,
maka maslahat tersebut harus digolongkan ke dalam maslahat yang lebih banyak.
Kedua, tidak benar kalau penetapan hukum Islam melalui metode istislah atau
maslahah-mursalah berarti menetapkan hukum Islam berdasarkan kepada hawa
nafsu, karena untuk dapat dijadikan sebagai hujjah, maslahah-mursalah harus
memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Jadi tidak asal maslahat.
Persyaratan inilah yang akan mengendalikan, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan
dalam menetapkan hukum (Islam) berdasarkan kepada maslahat.
Ketiga, Islam memang telah lengkap dan sempurna, tetapi yang dimaksud dengan
lengkap dan sempurna itu adalah pokok-pokok ajaran dan prinsip-prinsip
hukumnya. Jadi tidak berarti semua masalah ada hukumnya. Ini terbukti banyak
sekali masalah-masalah baru yang belum disinggung hukumnya oleh al-Qur’an dan
as-Sunnah tetapi baru diketahui setelah digali melalui ijtihad.
Keempat, tidak benar kalau memandang maslahah-mursalah sebagai hujjah akan
menafikan prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan (flexible) hukum
Islam, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Dengan menggunkan metode masalah-mursalah
dalam menetapkan hukum, prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan (flexible)
hukum Islam dapat dibuktikan.
Madzhab Maliki yang merupakan pembawa bendera Maslahat
Mursalah mengemukakan, setidaknya terdapat tiga alasan mengapa
mashlahah mursalah tersebut dijadikan sebagai hujjah dalam
penentuan hukum, yaitu sebagai berikut
Pertama, Praktek para sahabat yang telah menggunakan maslahat mursalah
diantarannya: – Sahabat mengumpulkan Al-Qur’an kedalam beberapa mushaf dengan
alasan menjaga Al-Qur’an dari kepunahan atau kehilangan kemutawatirannya. –
Khulafa ar-rosyidun menetapkan keharusan menanggung ganti rugi
kepada para tukang. Padahal menurut hukum
asal kekuasaan mereka didasarkan atas kepercayaan (amanah). Jika
tidak dibebani ganti rugi ia akan ceroboh dan tidak memenuhi
kewajibannya. – Umar Bin Khattab memerintahkan para
penguasa (pegawai negeri) agar memisahkan antara harta
kekayaan pribadi dengan harta yang diperoleh dari kekuasaannya – Umar Bin
Khattab sengaja menumpahkan susu yang dicampur air guna member pelajaran kepada
mereka yang mencampur susu dengan air . Para sahabat
menetapkan hukuman mati kepada semua
anggota kelompok (jama’ah) karena membunuh satu orang secara bersama-sama.
Kedua, Adanya maslahat sesuai dengan maqosid as-Syar’i (tujuan-tujuan syar’i) artinya dengan mengambil maslahat berarti sama dengan merealisasikan maqosid as-syar’i .
Kedua, Adanya maslahat sesuai dengan maqosid as-Syar’i (tujuan-tujuan syar’i) artinya dengan mengambil maslahat berarti sama dengan merealisasikan maqosid as-syar’i .
Ketiga, Seandainya maslahat tidak diambil
pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahah selama
berada dalam konteks maslahat syar’iyyah, maka
orang-orang mukallaf akan mengalami kesulitan dan kesempitan.
Terdapat juga alasan lain yang mempunyai esensi yang sama dengan alasan-alasan di atas yaitu
Terdapat juga alasan lain yang mempunyai esensi yang sama dengan alasan-alasan di atas yaitu
Pertama, kemaslahatan umat manusia itu selalu baru
dan tidak ada habisnya, maka jika hukum tidak
ditetapkan sesuai dengan kemaslahatan
manusia yang baru dan sesuai dengan perkembangan
mereka, maka banyak
kemaslahatan manusia diberbagai zaman dan tempat
menjadi tidak ada. Jadi tujuan penetapan hukum ini
antara lain menerapkan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan zamannya.
Kedua, Orang yang mau meneliti dan menetapkan hukum yang dilakukan para sahabat nabi, tabi’in, imam-imam mujtahid akan jelas, bahwa banyak sekali hukum yang mereka tetapkan demi kemaslahatan umum, bukan karena adanya saksi yang dianggap oleh syar’i. Seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam mengumpulkan berkas-berkas ercecer menjadi suatu tulisan al-Qur’an, dan memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat, lalu mengangkat umar bin khattab sebagai gantinya. Umar menetapkan jatuhnya talaq tiga dengan sekali ucapan, menetapkan kewajiban pajak, menyusun administrasi, membuat penjara dan menghentikan hukuman potong tangan terhadap pencuri dimasa krisis pangan. Semua bentuk kemaslahatn tersebut menjadi tujuan diundangkannya hukum-hukum sebagai kemaslahatan umum, karna tidak ada dalil syara’ yang menolaknya.
Kedua, Orang yang mau meneliti dan menetapkan hukum yang dilakukan para sahabat nabi, tabi’in, imam-imam mujtahid akan jelas, bahwa banyak sekali hukum yang mereka tetapkan demi kemaslahatan umum, bukan karena adanya saksi yang dianggap oleh syar’i. Seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam mengumpulkan berkas-berkas ercecer menjadi suatu tulisan al-Qur’an, dan memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat, lalu mengangkat umar bin khattab sebagai gantinya. Umar menetapkan jatuhnya talaq tiga dengan sekali ucapan, menetapkan kewajiban pajak, menyusun administrasi, membuat penjara dan menghentikan hukuman potong tangan terhadap pencuri dimasa krisis pangan. Semua bentuk kemaslahatn tersebut menjadi tujuan diundangkannya hukum-hukum sebagai kemaslahatan umum, karna tidak ada dalil syara’ yang menolaknya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istihsan secara bahasa adalah kata
bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu).
Secara istilah, mengeluarkan hukum suatu
masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain
karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.
Istihsan
dibagi menjadi dua, yaitu istihsan qiyasi dan istihsan istisnaiy.
Istihsan istisnaiy memiliki beberapa
bentuk, yaitu : istihsan bin-nash, istihsan dengan ijma’, istihsan berdasarkan
‘urf, serta istihsan berdasarkan mashlahah mursalah.
Beberapa ulama’ berbeda pendapat
terhadap penggunaan istihsan sebagai hujjah, diantaranya Imam Syafi’i, yang
menolak menggunakan istihsan. Sedangkan Imam Hanafi, Maliki, dan Hanbali menerima istihsan sebagai
landasan dalam menetapkan hukum.
B. Saran
Secara umum dapat dikatakan bahwa
perbedaan pendapat para ulama seputar kehujjahan istihsan sifatnya redaksional
dan tidak substansial. Sebab
ulama yang berpegang pada istihsan tidak bermaksud melandaskannya hanya dengan
hawa nafsu belaka. Sementara yang menolaknya juga dimotivasi oleh kehati-hatian
mereka agar sang mujtahid tidak terjebak dalam penggunaan ra’yu yang tercela.
Karena itu, kita juga telah menemukan bahwa Imam al-Syafi’i yang dianggap
sebagai ulama yang pertama kali mempersoalkan istihsan- ternyata juga
menggunakannya dalam berbagai ijtihadnya.
DAFTAR PUSTAKA
Khalaf, Abdul Wahab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama.
Cet.I. Alih Bahasa : Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL.
Khalaf, Abdul Wahab. 2003. Ilmu Ushul
Fikih Kaidah Hukum Islam. Jakarta
: Pustaka Amani. Cet.I. Penerjemah : Faiz El Muttaqin, S. Ag.
Jumantoro, Totok. Kamus Ushul Fiqih. Jakarta:
Amzah.
![]() |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar