Minggu, 01 Juni 2014

MAKALAH USHUL FIQIH, ISTIHSAN DAN MASHALAH MURSALAH.





MAKALAH MANDIRI
USHUL FIQIH
ISTIHSAN DAN MASHALAH MURSALAH


Disusun Oleh :

                                             Nama                :    MA’RUF MAHUDI
                                             Kelas                :    D
                                             NPM                :    1398811
                                             Semester           :    II (Dua)
 



STAIN Colour.jpg










SEKOLAH TINGGI AGAM ISLAM NEGERI
(STAIN) JURAI SIWO METRO
T.A 2014
KATA PENGANTAR



Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas rahmat dan hidayahNYA penulis akhirnya dapat menyelesaikan makalah tentang “ Istihsan Dan Mashalah Mursalah”.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah ikut menyelesaikan pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik isi maupun penulisannya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi perbaikan dan penambahan pengetahuan dimasa mendatang.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin…


Metro,     April 2014


Penulis

DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL ....................................................................................        i
KATA PENGANTAR .................................................................................       ii
DAFTAR ISI .................................................................................................      iii

BAB    I      PENDAHULUAN ....................................................................       1
A.    Latar Belakang ......................................................................       1
B.     Rumusan Masalah .................................................................       2

BAB II        PEMBAHASAN .......................................................................       3
A.  Pengertian Istihsan.................................................................       3
B.   Dasar Hukum Istihsan...........................................................       3
C.   Macam-Macam Istihsan........................................................       4
D.   Kehujjahan Istihsan..............................................................       6
E.   Kontradiksi Istihsan dalam Pandangan Ulama.....................       7

BAB III      PENUTUP..................................................................................       9
A. Kesimpulan.............................................................................       9
B. Saran.......................................................................................       9


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath  tetap berada pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu “penjaga”nya.
Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan kesahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuluyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya : al-Ushul al-Mukhtalaf fiha), atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum. Salah satu dalil itu adalah apa yang dikenal dengan al-Istihsan (selanjutnya disebut sebagai Istihsan) serta Mashalih Mursalah.
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan masalah al-Istihsan dan Mashalah Mursalah,  pandangan para ulama tentangnya, serta beberapa hal lain yang terkait dengannya. Untuk pembahasan selengkapnya akan diuraikan pada bab selanjutnya.


B. Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian Istihsan ?
2.      Apa sajakah dasar hukum Istihsan ?
3.      Apa sajakah macam-macam Istihsan ?
4.      Bagaimanakah kehujjahan Istihsan ?
5.      Bagaimanakah kontradiksi Istihsan dalam pandangan ulama ?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Istihsan
Istihsan menurut bahasa adalah menganggap sesuatu itu baik. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqh istihsan ialah berpalingnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang  jali (nyata) kepada tuntutan qiyas yang khafiy (samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitsnaiy (pengecualian) dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya dan memenangkan perpalingan ini.
Apabila terjadi suatu kejadian dan tidak ada nash mengenai hukumnya, dan untuk menganalisisnya terdapat dua aspek yang berbeda, yaitu:
1.      aspek yang nyata yang menurut suatu hukum tertentu,
2.      aspek yang  tersembunyi yang menghendaki hukum lain.

Selanjutnya pada diri mujtahid terdapat dalil yang mengunggulkan segi analisis yang tersembunyi, lalu ia berpaling dari aspek analisis yang nyata, maka ini disebut dengan nama :Istihsan, menurut istilah Syara’. Demikian pula apabila ada hukum yang bersifat kulli (umum), namun pada diri si mujtahid ada dalil yang menuntut pengecualian kasuistis dari hukum yang bersifat kulli ( umum) tersebut dan menuntut  hukum lainnya, maka ini juga menurut syara’ disebut dengan istihsan.

B.   Dasar Hukum Istihsan
1.      Alqur’an
tûïÏ%©!$# tbqãèÏJtFó¡o tAöqs)ø9$# tbqãèÎ6­Fusù ÿ¼çmuZ|¡ômr& 4 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# ãNßg1yyd ª!$# ( y7Í´¯»s9'ré&ur öNèd (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÊÑÈ  
18.  Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya[1311]. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS. Al-Zumar:18).
[1311] maksudnya ialah mereka yang mendengarkan ajaran-ajaran Al Quran dan ajaran-ajaran yang lain, tetapi yang diikutinya ialah ajaran-ajaran Al Quran Karena ia adalah yang paling baik.
2.    Hadits
 Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”.

C.   Macam-Macam Istihsan
1.  Istihsan Qiyasi
Yaitu menggunakan Qiyas khafi (samar) dan meninggalkan Qiyas jali (nyata) karena ada petunjuk untuk itu. Istihsan ini terjadi pada suatu kasus yang mungkin dilakukan padanya salah satu dari dua bentuk qiyas, yaitu qiyas jali dan qiyas khafi.

2        Istihsan Istisnaiy
Yaitu hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut.
Istihsan Istisnaiy terbagi menjadi beberapa macam, yaitu :
    Istihsan bin-nash, yaitu hukum pengecualian berdasarkan nash (al-Qur’an atau As -Sunnah) dari kaidah yang bersifat umum yang berlaku bagi kasus-kasus serupa.
    Istihsan berlandaskan ijma’, yaitu terjadinya sebuah ijma’ baik yang sharih maupun sukuti terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.
    Istihsan yang berlandaskan ‘urf (adat/kebiasaan), yaitu meninggalkan apa yang menjadi konsekuensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku –baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan-.
    Istihsan yang didasarkan atas maslahah mursalah, yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.

Sementara ulama hanafi membagi istihsan kepada 6 macam yaitu:
1.      Istihsan bi an-annas yaitu istihsan berdasarkan ayat atau hadist, maksudnya adalah
ada ayat atau hadits tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah umum. Contohnya dalam masalah wasiat. Menurut ketentuan umum atau qiyas wasiat itu tidak boleh, karena sifat pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat dilakukan ketika orang yang berwasiat tidak cakap lagi yaitu setelah wafat.
2.      Istihsan ijma’ Yaitu istihsan yang didasarkan kepada ijma’. Contoh: dewasa ini yang sering terjadi adalah dalam kasus pemandian umum. Menurut ketentuan kaidah umum, jasa pemandian umum itu harus jelas yaitu berapa lama seseorang mandi dan berapa jumlah air yang dipakai, akan tetapi apabila hal ini dilakukan maka akan menyulitkan orang banyak. Oleh sebab itu para ulama sepakat menyatakan bahwa boleh mempergunakan jasa pemandian umum sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lama waktu yang dipakainya.
3.      Istihsan bi al qiyas al khafi. Istihsan dengan qiyas kahfi dilakukan karena adanya pertentangan antara dua qiyas, bila terjadi pertentangan maka yang diutamakan adalah qiyas mempunyai pengaruh lebih kuat dan lebih sesuai dengan jenis illat yang ditetapkan syara yang merupakan dasar qiyas. Apabila fuqaha menghadapi masalah yang dapat dikembalikannya kepada dua dasar itu maka mereka memilih qiyas yang mempunyai pengaruh hukum yang kuat. Golongan hanafiayah mencontohkan dengan tidak najisnya sisa minuman burung buas, qiyas menetapkan najis terhadapnya dan mengqiyaskannya kepada binatang buas dengan illat bahwa daging keduanya najis.
4.      Istihsan bi al maslahah yaitu Istihsan berdasarkan kemaslahatan. Ulama malikiah mencontohkan membolehkan dokter melihat aurat wanita dalam berobat.
5.      Istihsan bi al ‘urf yaitu Istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum. Contohnya (lihat istihsan berdasarkan ijma’)
6.      Istihsan bi adh dharurah. Istihsan berdasarkan keadaan darurat. Contohnya dalam kasus sumur kemasukan najis. Menurut kaidah umum sumur itu sulit untuk dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air sumur tersebut, karena sumur yang sumbernya dari mata air sulit untuk dikeringkan. Ulama hanafiah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini, untuk menghilangkan najis cukup dengan memasukan beberapa galon air kedalam sumur, karena keadaan darurat menghendaki agar orang tidak mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan air untuk beribadah dan kebutuhan lainya.

D.  Kehujjahan Istihsan
Dari definisi istihsan dan penjelasan terhadap kedua macamnya jelaslah bahwasanya pada hakekatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum istihsan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan Qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa faktor yang memenangkannya yang membuat tenang hati si mujtahid. Itulah segi istihsan. Sedangkan bentuk yang kedua dari istihsan ialah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum), dan ini juga yang disebut dengan segi istihsan.
Mereka yang mempergunakan hujjah berupa istihsan, mereka ini kebanyakan dari ulama Hanafiyyah, maka dalil mereka terhadap kehujjahannya, ialah : bahwasanya beristidlal dengan istihsan merupakan istidlal dengan dasar qiyas yang nyata, atau ia merupakan pentarjian suatu qiyas atau qisas yang kontradiktif dengannya, dengan adanya dalil yang menuntut pentarjihan ini, atau ia merupakan istidlal dengan kemaslahatan mursalah (umum) berdasarkan pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum). Semuanya ini merupakan istidlal  yang shahih.

 E.  Kontradiksi Istihsan dalam Pandangan Ulama
1.  Madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum dengan beberapa alasan, antara lain:
“yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal’’[QS. Az-Zumar (39:18)].
2.  Imam Muhammad ibn Idris al-Syafi’I, pendiri Mazhab Syafi’i, tidak menerima istihsan sebagai landasan hukum. Menurut beliau, barang siapa yang menetapkan hukum berlandaskan istihsan sama dengan membuat-buat syariat baru dengan hawa nafsu. Alasannya antara lain :
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami lupakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” [QS. Al-An’am (06:38)]
“dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” [QS.Al-Maidah (05:49)]
 “keterangan-keterangan (mu'jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. [QS.An-Nahl (16:44)]
                        Menurut Wahbah Az-Zuhaili, adanya perbedaan pendapat tersebut disebabkan perbedaan dalam mengartikan istihsan. Imam Syafi’i membantah istihsan yang didasarkan atas hawa nafsu tanpa berdasarkan dalil syara’. Sedangkan istihsan yang digunakan oleh para penganutnya adalah men-tarjih (menganggap kuat) salah satu dari dua dalil yang bertentangan karena dipandang lebih dapat menjangkau tujuan pembentukan hukumnya.
                                                                                    Dalam gambaran tersebut, sasaran dari kritikan Imam Syafi’i di atas, bukanlah istihsan yang telah dirumuskan secara definitif kalangan di kalangan penganutnya, tetapi sasarannya adalah praktik-praktik istihsan yang terdapat di Irak dimana secara ilmiah belum dirumuskan secara definitif.
F.         Pengertian Maslahah Mursalah
Kata mashlahah memiliki dua arti, yaitu: maslahah berarti manfa’at baik secara timbangan kata yaitu sebagai masdar, maupun secara makna dan Maslahah fi’il (kata kerja) yang mengandung ash-Shalah yang bermakna an-naf’u. Dengan demikian, mashlahah jika melihat arti ini merupakan lawan kata dari mafsadah. Maslahat kadang-kadang disebut pula dengan ( الاستصلاح ) yang berarti mencari yang baik ( طلب الاصلاح).
Menurut istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta`rif yang diberikan di antaranya:  Imam Ar-Razi mendefinisikan mashlahahyaitu  perbuatan yang bermanfaat yang telah ditujukan oleh syari’ (Allah) kepada hamba-Nya demi memelihara dan menjaga agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendanya. Imam Al-Ghazali  mendefinisikan sebagai berikut: Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat. Selanjutnya is menegaskan maksud dari statemen di atas bahwa maksudnya adalah menjaga maqasid as-syari’ah yang lima, yaitu agama, jiwa, akal, nasab, dan harta. Selanjutnya ia menegaskan, setiap perkara yang ada salah satu unsur dari maqashid as-syari’ah maka ia disebut mashlahah. Sebaliknya jika tidak ada salah satu unsur dari maqashid as-syari’ah, maka ia merupakan mafsadat, sedang mencegahnya adalah mashlahah.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpuan bahwa mashlahah mursalah merupakan suatu metode ijtihad dalam rangka menggali hukum (istinbath) Islam, namun tidak berdasarkan pada nash tertentu, namun berdasarkan kepada pendekatan maksud diturunkannya hukum syara’ (maqashid as-syari’ah). Kemaslahatan yang menjadi tujuan syara’ bukan kemaslahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan dan hawa nafsu saja. Sebab tujuan pensyari’atan hukum tidak lain adalah untuk merealisasikan kemaslahatan manusia dalam segala aspek kehidupan dunia agar terhindar dari berbagai bentuk kerusakan.
Penetapan hukum Islam melalui pendekatan masqashid asy-syari’ah merupakan salah satu bentuk pendekatan dalam menetapkan hukum syara’ selain melalui pendekatan kebahasaan yang sering digunakan oleh para ulama. Jika dibandingkan dengan penetapan hukum Islam melalui pendekatan masqashid asy-syari’ah dengan penetapan hukum Islam melalui pendekatan kaidah kebahasaan, maka pendekatan melalui maqashid asy-syari’ah dapat membuat hukum Islam lebih fleksibel, luwes karena pendekatan ini akan menghasilkan hukum Islam yang bersifat kontekstual. Sedangkan pengembangan hukum Islam melalui kaidah kebahasaan akan menghilangkan jiwa fleksibilitas hukum Islam. Hukum Islam akan kaku (prigid) sekaligus akan kehilangan nuansa kontekstualnya.
 G.       Syarat-syarat Maslahah Mursalah
Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah dalam pembentukan hukum (Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan keinginan yang merusakkan manusia dan agama. Sehingga seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai syari`atnya. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
  1. Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan, Ahlul hilli wal aqdi dan mereka yang mempunyai disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka. Maka maslahah-maslahah yang bersifat dugaan, sebagaimana yang dipandang sebagian orang dalam sebagian syari`at, tidaklah diperlukan, seperti dalih mashlahah yang dikatakan dalam soal larangan bagi suami untuk menalak isterinya, dan memberikan hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini menurut pandangan kami tidak mengandung terdapat maslahah. Bahkan hal itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan masyarakat, hubungan suami dengan isterinya ditegakkan di atas suatu dasar paksaan undang-undang, tetapi bukan atas dasar keikhlasan, kasih sayang, dan cinta-mencintai.
  2. Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit. Imam-Ghazali memberi contoh tentang maslahah yang bersifat menyeluruh ini dengan suatu contoh: orang kafir telah membentengi diri dengan sejumlah orang dari kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang membunuh mereka demi memelihara kehidupan orang Islam yang membentengi mereka, maka orang kafir akan menang, dan mereka akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum muslimin memerangi orang islam yang membentengi orang kafir maka tertolaklah bahaya ini dari seluruh orang Islam yang membentengi orang kafir tersebut. Demi memlihara kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan musuh-musuh mereka.
  3. Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum   yang dituju oleh syari`.Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan oleh Syari`. Seandainya tidak ada dalil tertentu yang  mengakuinya, maka  maslahah tersebut  tidak  sejalan  dengan  apa yang telah dituju oleh Islam.
H.                                        Macam-macam Maslahah Mursalah
Maslahat dari segi pembagiannya dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu dilihat dari segi tingkatan dan eksistensinya.  Dari  segi tingkatan kepada tiga bagian, yaitu:
a.  Maslahah dharuriyah (Primer).
Maslahah   dharuriyah   adalah   perkara – perkara   yang  menjadi  tempat   tegaknya kehidupan manusia,  yang   bila  ditinggalkan,  maka  rusaklah  kehidupan   manusia, timbullah  fitnah,  dan  kehancuran  yang  hebat.  Perkara-perkara ini  dapat  dikembalikan  kepada  lima  perkara,  yang merupakan perkara pokok yang harus dipelihara, yaitu:
1)  Jaminan keselamatan jiwa (al-muhafadzah alan-nafs)
2)  Jaminan keselamatan akal (al-muhafadzhoh alal-aql)
3)  Jaminan keselamatan keluarga dan keturunan (al-muhafadzoh alan-nasl)
4)  Jaminan keselamatan harta benda (al-muhafadzoh alal-maal)
5)  Jaminan keselamatan agama/kepercayaan (al-muhafadzoh alad-diin)
Kemaslahatan  dalam  taraf  ini  mencakup  lima  prinsip  dasar universal dari pensyari’atan atau disebut  juga dengan konsep  maqosidus  syar’i. Jika hal  ini  tidak terwujud maka tatakehidupan akan timpang kebahagiaan akhirat tak tercapai bahkan siksaan akan mengancam. Oleh karena itu kelima macam maslahat ini harus dipelihara dan dilindungi.
b.  Maslahah Hajjiyah (Sekunder).
Maslahah hajjiyah ialah, semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait  dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud,  tetapi  dapat  menghindarkan  kesulitan  dan  menghilangkan  kesempitan.  Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan  hajjiyah  ini berlaku  dalam  lapangan  ibadah,  adat,  muamalat,  dan  dan  bidang  jinayat.  Termasuk kategori hajjiyat dalam perkara mubah ialah diperbolehkannya sejumlah bentuk transaksi yang dibutuhkan oleh    manusia    dalam     bermu’amalah,  seperti  akad  muzaro’ah,  musaqoh,  salam    maupun murobahah. Contoh lain dalam hal ibadah ialah bolehnya berbuka puasa bagi musafir, dan orang  Termasuk dalam hal hajjiyah ini, memelihara  kemerdekaan   pribadi,   kemerdekaan   beragama. Sebab dengan adanya kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan  beragama,  luaslah  gerak langkah hidup manusia.  Melarang  / mengharamkan    rampasan dan  penodongan  termasuk juga dalam hajjiyah.
c. Maslahah tahsiniyah atau kamaliyat (Pelengkap/tersier)
Maslahah   tahsiniyah  ialah   mempergunakan   semua    yang  layak   dan  pantas   yang  dibenarkan  oleh   adat  kebiasaan  yang  baik   dan   dicakup   oleh    bagian   mahasinul   akhlak.
Kemaslahatan ini lebih mengacu pada keindahan saja ( زينة للحياة)  sifatnya  hanya untuk kebaikan dan kesempurnaan. Sekiranya tidak dapat diwujudkan atau dicapai oleh manusia tidaklah sampai menyulitkan   atau merusak   tatanan    kehidupan   mereka,   tetapi   ia   dipandang  penting  dan dibutuhkan.  Tahsiniyah   juga   masuk   dalam  lapanganan  ibadah,  adat, muamalah, dan bidang uqubah. Lapangan  ibadah  misalnya   kewajiban   bersuci   dari najis,   menutup  aurat,  memakai pakaian yang baik-baik ketika akan shalat mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan-amalan sunah, seperti shalat sunah, puasa sunah, bersedekah dan lain-lain.
Lapangan  adat,  seperti  menjaga adat makan, minum, memilih makanan-makanan yang baik-baik dari yang tiak baik/bernajis.  Dalam  lapangan   muamalah, misalnya larangan  menjual benda – benda  yang  bernajis,  tidak   memberikan   sesuatu    kepada  orang  lain  melebihi   dari kebutuhannya.   Dalam  lapangaan  uqubat,  misalnya  dilarang  berbuat curang dalam  timbangan ketika berjual beli,  dalam  peperangan  tidak  boleh  membunuh wanita, anak-anak, pendeta, dan orang-orang yang sudah lanjut usia.
Di antara contoh tahsiniyat yang berkaitan dengan harta ialah  diharamkannya  memalsu barang.  Perbuatan  ini  tidak menyentuh secara langsung harta itu sendiri (eksistensinya),  tetapi menyangkut kesempurnaanya. Hal itu berlawanan kepentingan dengan keinginan membelanjakan harta secara terang dan jelas.  Jelaslah  bahwa  dalam hal itu tidak membuat cacat terhadap pokok harta  (ashul mal),  akan  tetapi   berbenturan   dengan   kepentingan   orang yang membelanjakan hartanya,  yang   mungkin   masih   bisa   dihindari   dangan   jalan   ihtiyath.  Seperti juga contoh pensyari ‘atan    thoharoh    sebelum    shalat,    anjuran    berpakaian   dan   berpenampilan   rapih pengharaman makanan-makanan yang tidak baik dan hal-hal serupa lainnya.
Dilihat  dari  segi eksistensi  atau wujudnya  para ulama ushul, juga membagi mashlaha menjadi tiga macam, yaitu:
a. Maslahat Mu’tabarah
Mashlalah  mu’tabarah  ialah kemashlahatan yang terdapat dalam nash yang secara tegas menjelaskan dan mengakui kebenarannya. Dengan kata lain yakni kemaslahatan yang diakui oleh syar’i  dan  terdapatnya  dalil  yang  jelas, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad al – Said Ali Abd. Rabuh Yang masuk dalam mashlahat ini adalah semua kemaslahatan yang dijelaskan dan disebutkan   oleh   nash,  seperti   memelihara   agama,  jiwa,  keturunan  dan   harta  benda,  yang selanjutnya  kita  sebut   dengan  maqashid   asy-syari’ah.   Oleh   karena   itu,    Allah  Swt   telah menetapkan agar berusaha dengan untuk melindungi agama, melakukan qishas bagi pembunuhan, menghukum   pemabuk   demi   pemeliharaan   akal,   menghukum   pelaku   zina  dan begitu pula menghukum pelaku pencurian. Seluruh ulama sepakat bahwa semua maslahat yang dikategorikan  maslahah  mu’tabarah  wajib  ditegakkan  dalam  kehidupan,  karena  dilihat dari segi tingkatan ia merupakan kepentingan ditegakkan.
b.Yang dimaksud dengan maslahat mulghah ini ialah maslahat yang bertentangan dengan ketentuan nash.   Dengan kata lain,   maslahat  yang  tertolak karena ada dalil yang menunjukkan bahwa ia bertentangan dengan dalil yang jelas. Dapat disimpulkan juga bahwa syara’  menyikapi maslahat  ini  dengan  menolak   sebagai  variabel  penetap hukum (illat).   Contoh: menyamakan pembagian  warisan  antara  seorang  perempuan  dengan  saudara  laki-lakinya.  Penyamakan ini memang banyak maslahatnya namun berlawanan dengan ketentuan nash. Namun penyamakan ini dengan   alasan  kemaslahatan,  penyelesaian  kasus  seperti  inilah yang disebut dengan Maslahat Mulgoh.  Seperti  juga  kasus  bentuk  sanksi  kafarat bagi orang yang menggauli istrinya di siang hari  pada  bulan  Ramadhan  yang  terdiri  dari  tiga  macam kafarat. Menurut konsep kaffarat ini dogmatik   yang   menghendaki   adanya   kemaslahatan   berupa   tindakan    jera ( al-zajr)  tanpa mempertimbangkan  maslahat  lainnya  maka  tidak  diragukan  bahwa menurut sebagian orang ia tidak  dapat dijadikan  illat  hukum  karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Jadi kafarat ini harus dilakukan secara berurutan Lain halnya dengan pendapat Imam Malik ia mengatakan boleh memilih diantara ketiga kafarat itu dengan tujuan demi kemaslahatan yang lebih tepat.

I.                   Ikhtilaf Para Ulama tentang Maslahah Al Mursalah
Masalah al Mursalah tidak diterima oleh sebagian umat Islam, khususnya mayoritas penganut mazhab asy-Syafi’iah sebagai dasar penetapan hukum Islam. Dalam hal ini ada beberapa argumen yang mereka ajukan di antaranya yaitu;
Pertama, masalahat itu ada yang dibenarkan oleh syara’, ada yang ditolak oleh syara’ dan ada pula yang diperselisihkan. Maslahat kategori pertama dan kategori kedua (yang dibenarkan dan yang ditolak oleh syara’) tidak ada pertentangan di kalangan umat Islam. Maslahat kategori pertama harus diterima sebagai dasar penetapan hukum Islam, dan maslahat kategori kedua harus ditolak sebagai dasar penetapan hukum Islam. Sedangkan maslahat kategori ketiga diperselisihkan, sebagian menerima sebagai dasar penetapan hukum Islam, dan sebagian yang lain menolaknya. Sesuai dengan definisi di atas, maslahat kategori ketiga inilah yang menjadi kajian dari maslahah-mursalah atau istislah. Dengan demikian menurut kelompok umat Islam yang tidak menerima maslahah-mursalah sebagai dasar penetapan hukum Islam berpendapat, bahwa memandang maslahah-mursalah (kategori ketiga) sebagai hujjah berarti mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang meragukan.
Kedua, memandang maslahah-mursalah sebagai hujjah berarti menodai kesucian hukum Islam karena penetapan hukum Islam tidak berdasarkan kepada nass-nass tertentu, tetapi hanya mengikuti keinginan hawa nafsu belaka dengan dalih maslahat. Dengan dalih maslahat dikhawatirkan akan banyak penetapan hukum Islam berdasarkan kepada kepentingan hawa nafsu.
Ketiga, Bagi golongan ini, hukum Islam telah lengkap dan sempurna. Dengan menjadikan maslahat sebagai dasar dalam menetap hukum Islam, berarti umat Islam tidak mengakui prinsip kelengkapan dan kesempurnaan hukum Islam. Artinya hukum Islam belum lengkap dan sempurna, masih ada yang kurang.
Keempat, memandang maslahat sebagai hujjah akan membawa dampak terjadinya perbedaan hukum Islam terhadap masalah yang sama (disparitas) disebabkan perbedaan kondisi dan situasi. Dengan demikian akan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan fleksibelitas hukum Islam
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh sekelompok umat Islam yang tidak menerima maslahat (kategori ketiga) sebagai dasar menetapkan hukum Islam di atas, dapat disanggah dengan beberapa alasan.
Pertama, dengan memandang maslahat sebagai hujjah tidak berarti mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang meragukan, sebab maslahat tersebut ditentukan lewat sekian banyak dalil dan pertimbangan, sehingga menghasilkan zann yang kuat (sesuatu yang lemah menjadi kuat). Dalam ilmu fiqih dikenal istilah yakfi al-‘amal biz-zann, beramal berdasarkan kepada zann dianggap cukup karena semua fiqih adalah zann. Dengan demikian tidak dapat dikatakan bahwa menjadikan maslahat kategori ketiga sebagai hujjah berarti memilih dua kemungkinan tanpa dalil, karena jika dibandingkan maslahat yang dibenarkan oleh syara’ dengan maslahat yang ditolak oleh syara’, maka maslahat yang dibenarkan oleh syara’ jauh lebih banyak jumlahnya dari pada maslahat yang ditolak oleh syara’. Dengan demikian jika ada suatu kemaslahatan, tetapi tidak ada dalil yang membenarkannya atau menolaknya, maka maslahat tersebut harus digolongkan ke dalam maslahat yang lebih banyak.
Kedua, tidak benar kalau penetapan hukum Islam melalui metode istislah atau maslahah-mursalah berarti menetapkan hukum Islam berdasarkan kepada hawa nafsu, karena untuk dapat dijadikan sebagai hujjah, maslahah-mursalah harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Jadi tidak asal maslahat. Persyaratan inilah yang akan mengendalikan, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan dalam menetapkan hukum (Islam) berdasarkan kepada maslahat.
Ketiga, Islam memang telah lengkap dan sempurna, tetapi yang dimaksud dengan lengkap dan sempurna itu adalah pokok-pokok ajaran dan prinsip-prinsip hukumnya. Jadi tidak berarti semua masalah ada hukumnya. Ini terbukti banyak sekali masalah-masalah baru yang belum disinggung hukumnya oleh al-Qur’an dan as-Sunnah tetapi baru diketahui setelah digali melalui ijtihad.
Keempat, tidak benar kalau memandang maslahah-mursalah sebagai hujjah akan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan (flexible) hukum Islam, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Dengan menggunkan metode masalah-mursalah dalam menetapkan hukum, prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan (flexible) hukum Islam dapat dibuktikan.
Madzhab Maliki yang merupakan pembawa bendera Maslahat Mursalah mengemukakan, setidaknya terdapat tiga alasan mengapa  mashlahah   mursalah tersebut dijadikan sebagai hujjah dalam penentuan hukum, yaitu sebagai berikut
Pertama, Praktek para sahabat yang telah menggunakan maslahat mursalah diantarannya: – Sahabat mengumpulkan Al-Qur’an kedalam beberapa mushaf dengan alasan menjaga Al-Qur’an dari kepunahan atau kehilangan kemutawatirannya. – Khulafa ar-rosyidun menetapkan keharusan menanggung  ganti  rugi  kepada  para tukang.  Padahal  menurut  hukum  asal kekuasaan mereka didasarkan atas kepercayaan (amanah).  Jika  tidak  dibebani  ganti rugi ia akan ceroboh dan tidak memenuhi  kewajibannya. – Umar Bin Khattab  memerintahkan  para penguasa   (pegawai negeri) agar memisahkan antara  harta kekayaan pribadi dengan harta yang diperoleh dari kekuasaannya – Umar Bin Khattab sengaja menumpahkan susu yang dicampur air guna member pelajaran kepada mereka  yang  mencampur  susu dengan air . Para sahabat   menetapkan   hukuman  mati  kepada semua anggota kelompok (jama’ah) karena membunuh satu orang secara bersama-sama.
Kedua,  Adanya maslahat sesuai dengan maqosid as-Syar’i (tujuan-tujuan syar’i) artinya dengan mengambil maslahat berarti sama dengan merealisasikan maqosid as-syar’i .
Ketiga,  Seandainya  maslahat  tidak  diambil   pada  setiap kasus yang jelas mengandung maslahah  selama  berada  dalam  konteks  maslahat syar’iyyah, maka orang-orang mukallaf akan mengalami kesulitan dan kesempitan.
Terdapat juga alasan lain yang mempunyai esensi yang sama dengan alasan-alasan di atas yaitu
Pertama,  kemaslahatan  umat  manusia  itu  selalu baru dan tidak ada habisnya, maka jika hukum   tidak  ditetapkan  sesuai   dengan   kemaslahatan   manusia  yang baru dan sesuai dengan perkembangan   mereka,   maka   banyak   kemaslahatan  manusia  diberbagai   zaman dan tempat menjadi tidak ada.  Jadi  tujuan  penetapan  hukum ini antara lain menerapkan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan zamannya.
Kedua,  Orang  yang  mau meneliti  dan  menetapkan hukum yang dilakukan para sahabat nabi, tabi’in, imam-imam mujtahid akan jelas, bahwa banyak sekali hukum yang mereka tetapkan demi kemaslahatan umum, bukan karena  adanya  saksi  yang  dianggap  oleh syar’i. Seperti yang dilakukan  oleh  Abu Bakar  dalam  mengumpulkan  berkas-berkas   ercecer menjadi suatu tulisan al-Qur’an, dan memerangi  orang-orang  yang  tidak mau membayar zakat, lalu mengangkat umar bin  khattab  sebagai   gantinya.  Umar  menetapkan  jatuhnya  talaq  tiga  dengan  sekali  ucapan, menetapkan   kewajiban   pajak,   menyusun   administrasi,   membuat penjara dan menghentikan hukuman  potong  tangan  terhadap  pencuri  dimasa  krisis  pangan.   Semua bentuk kemaslahatn tersebut menjadi tujuan diundangkannya hukum-hukum sebagai kemaslahatan umum, karna tidak ada dalil syara’ yang menolaknya.

























BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu).
Secara istilah, mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.
Istihsan dibagi menjadi dua, yaitu istihsan qiyasi dan istihsan istisnaiy.
Istihsan istisnaiy memiliki beberapa bentuk, yaitu : istihsan bin-nash, istihsan dengan ijma’, istihsan berdasarkan ‘urf, serta istihsan berdasarkan mashlahah mursalah.
Beberapa ulama’ berbeda pendapat terhadap penggunaan istihsan sebagai hujjah, diantaranya Imam Syafi’i, yang menolak menggunakan istihsan. Sedangkan Imam Hanafi, Maliki, dan Hanbali menerima istihsan sebagai landasan dalam menetapkan hukum.

B.     Saran
Secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan pendapat para ulama seputar kehujjahan istihsan sifatnya redaksional dan tidak substansial. Sebab ulama yang berpegang pada istihsan tidak bermaksud melandaskannya hanya dengan hawa nafsu belaka. Sementara yang menolaknya juga dimotivasi oleh kehati-hatian mereka agar sang mujtahid tidak terjebak dalam penggunaan ra’yu yang tercela. Karena itu, kita juga telah menemukan bahwa Imam al-Syafi’i yang dianggap sebagai ulama yang pertama kali mempersoalkan istihsan- ternyata juga menggunakannya dalam berbagai ijtihadnya.



DAFTAR PUSTAKA



Khalaf, Abdul Wahab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama. Cet.I. Alih Bahasa : Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL.

Khalaf, Abdul Wahab. 2003. Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam. Jakarta : Pustaka Amani. Cet.I. Penerjemah : Faiz El Muttaqin, S. Ag.

Jumantoro, Totok. Kamus Ushul Fiqih. Jakarta: Amzah.





 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar