TUGAS MANDIRI
USHUL FIQH
ISTISHAB DAN
‘URF
Dosen Pengampu:
Drs. H. Hadi Rahmat, Ma

Di susun oleh:
Nama : MA’RUF
MAHUDI
NPM : 1398811
Prodi : PAI
Kelas : D
Semester : II (Dua)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JURAI SIWO METRO
T.A. 2014
KATA PENGANTAR
ÉOó¡Î0 «!$#
Ç`»uH÷q§9$#
ÉOŠÏm§9$#
“Dengan menyebut nama Allah
yang maha pengasih lagi maha Penyayang”
Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Usul fiqih.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Dosen yang telah mengarahkan
sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat
pada waktunya. Makalah ini tersusun jauh dari sempurna, oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini maupun penyusunan makalah berikutnya.
Semoga makalah ini memberikan informasi dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Metro, 27 Maret 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
BABA I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang..................................................................................... ....... 1
B. Rumusan Maslah.................................................................................. ....... 1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................... ....... 2
A. ISTISHAB.................................................................................................. 2
1. Pengertian Istishab................................................................................ 2
2. Macam-macam Istishab......................................................................... 2
3. Kehujjahan Istishab............................................................................... 5
4. Pandangan Ulama tentang Istishab............................................... ....... 5
B. ‘URF............................................................................................................ 6
1. Pengertian ‘Urf.............................................................................. ....... 6
2. Macam-macam ‘Urf....................................................................... ....... 7
3. hukum ‘urf..................................................................................... ....... 8
4. Kehujjahan ‘Urf............................................................................. ..... 10
BAB II PENUTUP.............................................................................................. 11
A. KESIMPULAN................................................................................... ..... 11
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan hukum
yaitu hukum yang disepakati dan hukum yang tidak disepakati. Seperti yang kita
ketahui bahwa hukum yang kita sepakati tersebut yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah,
Ijma’, dan Qiyas. Secara umum ada 7 hukum Islam yang tidak disepakati dan salah
satu dia antaranya akan menjadi pokok pembahasan pada makalah ini yaitu Istishab.
Dalam istilah ahli
ushul, istishab berarti menetapkan hukum menurut keadaan yang terjadi
sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam ungkapan lain, ia diartikan
juga sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula tetap
berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan
itu.
B.
Rumusan
Masalah
Bertitik tolak pada uraian yang telah
dikemukakan di atas, penulis dapat menarik sebuah rumusan masalah sebagai
berikut:
- Apa pengertian istishab?
- macam-macam istishab ?
- Apa kehujjahan istishab?
- Pendapat Ulama tentang Istishab ?
- Pengertian ‘Urf ?
- Macam-macam ‘Urf ?
- Hukum ‘Urf ?
- Kehujahhan ‘Urf ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
ISTISHHAB
1.
Pengertian Istishab
Istishab menurut bahasa
ialah pengakuan kebersamaan. Sedangkan menurut istilah adalah menetapkan suatu
hukum yang ada pada waktu yang lalu sebelum datang hukum atau dalil yang
merubahnya. Dengan kata lain, Istishab
adalah menjadikan satu hukum satu peristiwa yang ada sejak semula tetap berlaku
hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada sumber hukum yang mengubah ketentuan
hukum itu. Menurut istilah ahli usul fiqh, Istishab
adalah :
“membiarkan
berlangsungnya suatu hukum yang sudah ditetapkan pada masa lampau dan masih
diperlukan ketentuannya sampai sekarang, kecuali jika ada dalil yang lain
mengubahnya.”
Dan ulama berbeda
pendapat dalam mendefenisikan istishab
diantaranya yaitu :
Abu Bakar Ismail
Muhammad Miqa, dalam buku Methodologi
Ijtihad Hukum Islam bememberikan defenisi tentang Istishab yaitu : “bahwa ketetapan masa lampau tetap berlaku
selama tidak ada dalil yang mengubahnya.” Artinya, ketentuan masa lampau
tetap berlaku hingga sekarang selama tidak terdapat dalil-dalil hukum baru yang
mengubah kedudukan hukum lampau tersebut.
2. Macam-macam Istishhab
a.
Istishab Aql
Istishab Aql adalah
suatu keyakinan umum dalam rangka mendalami agama sehingga ulama membedakan ajaran agama menjadi dua bagian,
yaitu, Ibadah (tidak sepenuhnya sama
dengan fiqih ibadah) dan Muamalah
(tidak sepenuhnya sama dengan fiqih Muamalah).
Dalam bidang Agama, ulama Ushul Fiqih menentukan
kaidah “hukum pokok adalah haram.” Atas dasar kaidah ini, ibadah tidak dapat
ditambah dan dikurangi tampa ada petunjuk dari Allah dan rasul-Nya. Sebab
sampai sekarang ini, tidak terdapat ulama yang mewajibkan melakukan sholat
fardhu enam (6) waktu selain yang lima waktu berdasarkan sumber hukum islam.
Dalam hal Muamalah, ushul fiqih membuat sebuah kaidah
yang berbunyi: ”Al-aslu fiil asya’il ibahati.” Artinya : Hukum pokok sesuatu adalah
boleh. Yaitu selama tidak ada ketentuan khusus yag mengharamkan atau
menghalalkan nya.
Misalnya, Hukum Makan dan Minum, kerna tidak ada
seorang ulama pun yang melarang untuk makan dan minum kerna tidak ada dalil
Nash Al-qur’an dan As-sunnah yang melarangnya.
b. Istishab Syara’
Istishab
Syara’ adalah sesuatu perbuatan yang tegak karna perintah
Allah dan rasul-Nya serta tidak ada dalil yang mengubah perintah tersebut. Misalnya, wudhu’ dan jumlah rokaat
sholat. Seseorang yang hendak berwudhu’ untuk melaksanakan sholat merupakan
perintah yang datang dari Nash (Al-qur’an dan As-sunnah).
Apabila seseorang merasa tidak yakin bahwa whudu’nya
batal atau tidak, orang tersebut tidak perlu mengambil whudu’ kembali dari
keterangan fakta diatas ulama ushul fiqih mengemukakan: ”Al-yakinu laa yaajalu biisakki.” Artinya : segala sesuatu yang
meyakinkan tidak akan hilang keraguannya.
Kemudian ulama ushul fiqih mengemukakan sumber hukum
(dalil) bahwa apabila tidak terdapat ketentuan hukum dalam Nash Al-qur’an dan
As-sunnah termasuk ketentuan ijtihat lainnya maka semua boleh (ibadah).
Sebagaimana kaidah Ushuliyah yang berbunyi: ”Al-aslu fiil asya’il ibahati.” Artinya :
Hukum pokok sesuatu adalah boleh.
c.
Istishab al-baroa’ah Al-ashiliyah
Yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada
dasarnya manusia bebas dari taklif (beban), sampai adanya dalil yang merubah
status tersebut. Atas dasar inilah maka manusia bebas dari kesalahan sampai ada
bukti bahwa ia telah berbuat salah. Oleh karena itu, seseeorang yang menuduh
orang lain telah berbuat salah maka tuduhan itu tidak bisa dibenarkan secara
hukum tanpa adanya bukti yang jelas.
d.
Istishab Al-ibaha al-ashiliyah
Yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal, yaitu
mubah (boleh). Misalnya mengenai makanan dan minuman, selama tidak ada dalil
yang melarangnya maka hal tersebut diperbolehkan. Sebab pada prinsipnya, segala
sesuatu yang ada di bumi ini diperuntukan oleh Allah bagi kehidupan manusia,
sesuai dengan firman-Nya pada surat al-Baqarah ayat 29 sebagai berikut :
3.
هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰٓ
إِلَى ٱلسَّمَآءِ فَسَوَّىٰهُنَّ سَبۡعَ سَمَٰوَٰتٖۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيۡءٍ
عَلِيمٞ ٢٩
Artinya :
Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu.
e. Istishab Ma
Dalla al-Syar’u ‘ala Tsubut
Yaitu : istishab yang didasarkan atas tetapnya hukum
yang sudah ada sampai ada dalil yang mencabutnya. Misalnya, seseorang yang
sudah jelas melaksanakan akad pernikahan, maka status pernikahan itu tetap
berlaku sampai terbukti adanya perceraian.
f.
Istishab al-Washfi
Yaitu
istishab yang didasarkan atas anggapan tetapnya sifat yang ada dan diketahui
sebelumnya, sampai ada bukti yang merubahnya. Misalnya, sifat air yang
diketahui suci sebelumnya, maka air tersebut tetap suci sampai ada bukti yang
menunjukan air tersebut menjadi najis. Demikian pula adanya sifat hidup yang
dimiliki seseorang yang hilang, maka ia tetap dianggap masih hidup sampai ada
bukti yang menunjukkan bahwa ia sudah meninggal.
3. Kehujjahan
Istishhab
Istishhab adalah
akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali bagi para mujtahid untuk
mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapnya. Ulama Ushul berkata.
“Sesungguhnya Istishhab adalah akhir tempat beredarnya fatwa”. Yaitu
mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak
terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dalam pengambilan dalil yang
telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai ketetapan
untuk mereka.
Seseorang manusia
yang hidup tetap dihukumi atas hidupnya dan pengelolaan atas kehidupan ini
diberikan kepadanya sampai terdapat dalil yang menunjukan adanya keputusan
tentang kematianya. Setiap orang yang mengetahui wujud sesuatu, maka dihukumi
wujudnya sampai terdapat dalil yang meniadakanya, dan barang siapa yang
mengetahui ketiadaanya sesuatu, maka dihukumi dengan ketidakdanya sampai
terdapat dalil yang menunjukan kebenaranya.
Hukum telah berjalan
menurut keadaan ini. Jadi, suatu kepemilikan misalnya, tetap menjadi milik
siapa saja berdasarkan sebab beberapa kepemilikan. Maka kepemilikan itu
dianggap ada sampai ad ketetapan yanag menghilangkan kepemilikan tersebut.
Istishhab juga
telah dijadikan dasar bagi prinsip-prinsip syariat, antara lain sebagai
berikut. “Asal sesuatu adalah ketetapan yang ada menurut keadaan semula
sehingga terdapat suatu ketetapan yang mengubahnya”. Pendapat yang dianggap
benar adalah Istishhab bisa dijadikan dalil hukum karena hakikatnya dalillah
yang telah menetapkan hukum
tersebut. Istishhab itu tidak lain adalah dalalah dalil pada
hukumnya.
4.
Pendapat Ulama tentang Istishhab
Ulama Hanafiyah
menetapkan bahwa Istishhab merupakan
hujjah untuk mempertahankan dan bukan untuk menetapkan apa-apa yang dimaksud
oleh mereka. dengan pernyataan tersebut jelaslah bahwa Istishab merupakan
ketetapan suatu yang telah ada menurut keadaan semula dan juga mempertahankan
suatu yang berbeda sampai ada dalil yang menetapkan atas perbedaanya.
Istishhab
bukanlah hujjah untuk menetapkan suatu yang tidak tetap. Telah
dijelaskan tentang penetapan orang yang hilang atau orang yang tidak diketahui
tempat tinggalnya dan tempat kematianya, bahwa orang tersebut ditetapkan tidak
hilang dan dihukumi sebagai orang hidup sampai adanya petunjuk yang menunjukan
kematianya.
Istishhab-lah
yang menunjukan atas hidupnya orang tersebut dan menolak dugaan kematianya
serta warisan harta bendanyajuga perceraian pernikahanya. Tetapi hal itu bukan
lah hujjah untuk menetapkan pewaris dari lainya, karena hidup yang ditetapkan
menurut Istishhab itu adalah hidup yang didasarkan pengakuan.
B.
‘URF
1.
Pengertian ‘urf
Arti ‘urf secara
harfiyah adalah suatu keadaan,ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah
dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakanya atau
meninggalkanya. Dikalangan masyarakat, ‘urf ini sering sering disebut
sebagai adat.
Pengertian diatas, juga sama pengertian menurut istilah ahli
syara’. Diantara contoh diatas ‘urf yang bersifat perbuatan adalah adanya saling
pengertian diantara manusia tentang jual beli tanpa mengucapkan shigat. Sedangkan
contoh ‘urf yang bersifat ucapan
adalah adanya pengertian tentang kemutlakan lafal al-walad atas anak
laki-laki bukan perempuan, dan juga meng-itlak-kan lafazh al-lahm yang
bermakna daging atas as-samak yang bermakna ikan tawar.
Dengan demikian, ‘urf itu mencakup sikap saling pengertian diantara
manusia atas perbedaan tingkataan diantara mereka, baik keumumanya ataupun
kekhususanya. Maka ‘urf berbeda
dengan ijma’ karena ijma’ merupakan
tradisi dari kesepakatan para mujtahidin secara khusus.
2.
Macam- macam ‘Urf
Jika ditinjau dari segi baik dan
buruknya ‘urf (diterima atau tidaknya), urf itu dibagi dua,yakni:
1.
‘Urf shahih
yaitu yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan denga nash
syara’,seperi membiasakan wakaf barang atau tanah.
2.
‘Urf
fasid,yaitu yang bertentangan denga nash syara,dan ‘urf ini tidak bisa
diterima,seperti membiasakan perjanjian yang bersifat riba.
Jika
ditinjau dari segi macamnya dibagi dua pula,yaitu:
1.
‘Urf
qauly,yaitu kebiasaan yang berupa perkataan,seperti: kalimat “lahmun” (لحم) artinya daging tetapi dalam
perkataan ini daging ikan tidak termasuk,walaupun sudah dimaklumi bahwa ikan
itu ada dagingnya. Lagi pula tidak ada perkataan mau membeli daging ikan itu.
2.
‘Urf
amaly,yaitu kebiasaan yang berupa perbuatan,seperti kebiasaan jual beli tanpa
mengadakan sighat jual beli tapi cukup dengan menyerahkan uang dan menerima
barang,jual belinya sudah dianggap sah.
Jika dilihat dari segi berlakunya,
inipun dapat dibagi dua:
1.
‘Urf
‘aam,yaitu urf yang dapat berlaku untuk seluruh tempat dan waktu,seperti
menitipkan barang dengan memberi uang jagaan kepada yang dititipi.
2.
‘Urf
khas,yaitu adat yang berlaku hanya untuk sesuatu tempat,seperti penyerahan uang
mahar,ada yang sebelum dilaksanakan aqad,bersama-sama dengan penyerahan barang
(uang),ada pula secara tersendiri bersama-sama dengan waktu mengadakan aqad
nikah,atau juga seperti yang berlaku dikalangan pedagang,mereka memberi hadiah
sebagai balas jasa kepada langganan.
3.
Hukum ‘Urf
a.
‘Urf Sahih Pandangan para Ulama
Telah
disepakati bahwa ‘urf sahih itu
harus dipelihara dalam pembentukan hukum dan pengadilan. Maka seseorang mujtahid
diharuskan untuk memelihara ketika ia menetapkan hukum. Begitu juga seorang Qudhi
(hakim) harus memeliharanya ketika sedang mengadili. sesuatu yang telah
saling dikenal manusia meskipun tidak menjadi adat kebiasaan, tetapi telah
disepakati dan dianggap mendatangkan kemasalahan bagi manusia serta selama hal
hal itu tidak bertentangan dengan syara’ harus dipelihara.
Dan syari’ pun
telah memelihara ‘urf bangsa Arab
yang sahih dalam membentuk hukum, maka difardukanlah diat (denda) atas
prempuan yang berakal, disyaratkan kafa’ah (kesesuaian) dalam hal
perkawinan, dan diperhitungkan pula adanya ashabah (ahli waris yang
bukan penerima pembagian pasti dalam hal kematian dan pembagian harta pusaka).
Diantara
para ulama ada yang berkata, Adat adalah syariat yang dikukuhkan sebagai
hukum”. Begiyu juga ‘urf menurut syara'
mendapat pengakuan hukum. Imam Malik mendasarkan sebagian besar hukumnya
pada perbuatan penduduk Madinah. Abu Hanifah bersama murid-muridnya berbeda
pendapat dalam beberapa hukum dengan dasar atas perbuatan ‘urf mereka. Sedangkan Imam Syafi’i ketika sudah
berada di Mesir, mengubah mengubah sebagian pendapatnya tentang hukum yang
telah dikeluarkannya dikeluarkanya ketika beliau berada di Bagdad. Hal ini
karena perbadaan ‘urf, maka tak heran kalau beliau mempunyai dua mazhab,
madzhab qadim (terdahulu/pertama) dan madzhab jadid (baru).
Begitu
pula dalam Fiqih Hanafiyah, banyak hukum-hukum yang berdasarkan atas ‘urf ,
di antaranya apabila berselisih diantara dua orang terdakwa dan tidak terdapat
saksi bagi salahnya, maka pendapat yang dibenarkan (dimenangkan) adalah
pendapat orang yang disaksikan ‘urf. Apabila suami istri tidak sepakat
atas mahar yang muqaddam (terdahulu) atau yang mu’akhar
(terakhir) maka hukumnya adalah ‘urf. Barang siapa bersumpah tidak
akan makan daging, kemudian ia makan ikan tawar. maka tidak berarti bahwa ia
melanggar sumpahnya menurut dasar ‘urf.
Pendapat
yang di nukil itu adalah sah apabila telah menjadi ‘urf. Jadi, syarat
sah akad itu apabila ketentuan tentang hal itu terdapat dalam syara’ atau
apabila dituntut oleh akad atau apabila berjalan padanya ‘urf. Al-Marhum
Ibnu Abidin telah menyusun Risalah yang ia namakan “Menyebarkan ‘urf di
antara hukum-hukum yang dibentuk berdasarkan ‘urf “ Diantara ungkapanya yang terkenal
“Apa-apa yang di mengerti secara ‘urf adalah seperti yang disyaratkan menurut syara’
, dan apa-apa yang telah ditetapkan menurut nash”.
b.
Hukum ‘Urf Fasid
Adapun
‘urf yang rusak, tidak diharuskan
untuk memeliharanaya, karena memeliharanya itu berarti menentang dalil syara’
atau membantalkan syara’. Apabila manusia telah saling mengerti
nakad-akad yang rusak, seperti akad riba atau akad gharar atau
khathar (tipuan dan membahayakan), maka bagi ‘urf ini tidak mempunyai pengaruh dalam
membolehkanya,
Akad
bisa di tinjau dari segi lain, yaitu apabila akad tersebut dianggap darurat atau
sesuai dengan hajat manusia? Artinya, apabila akad tersebut membatalkan, maka
berarti menipu peraturan kehidupan mreka atau mereka akan memperoleh kesulitan.
Jika hal itu termasuk darurat atau kebutuhan mereka, akad itu diperbolehkan,
karena keadaan darurat dibolehkan melakukan hal-hal yang telah diharamkan,
sedang hajat itu bisa mendudukitempat kedudukan darurat. Namun, jika tidak
termasuk darurat atau kebutuha mereka, maka dihukumi dengan batalnya akad
tersebut dan berdasarkan hal ini maka ‘urf tidak diakui.
Hukum-hukum
yang didasrkan ‘urf itu dapat berubah
menurut perubahan zaman dan perubahan asalnya. Karena itu, para Fuqaha berkata,
“Perselisihan itu adalah perselisihan masa dan zaman, bukan perselisihan hujjah
dan bukti”.
4.
Kehujjahan ‘urf
‘Urf
menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’
tersendiri. pada umumnya, ‘urf ditunjukan untuk memelihara kemasalahan umat
serta menunjang pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Dengan ‘urf dikhususkan
lafal yang ‘amm (umum) dan dibatasi yang mutlak. Karena ‘uruf pula terkadang qiyas itu ditinggalkan.
karena iti, sah mengadakan kontrak borongan apabila ‘urf sudah terbiasa
dalam hal ini, sekalipun tidak sah menurut qiyas, karena kontrak
tersebut adalah kontrak atas perkara yang ma’dum (tiada).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Istishab
merupakan landasan
hukum yang masih diperselisihkan akan tetapi kita sebagai umat Islam sepatutnya
kita mempelajari dan mengatahui setiap hukum-hukum yang ada. Istishab merupakan
suatu hukum yang menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaanya semula
selama belum terbukti sesuatu yang mengubahnya.
Dalam
melihat hukum istishab, kita jangan melihat jangan melihat dari satu
sudut pandang saja, akan tetapi mempejari secara cermat mengenai seluk beluk istishab
itu sendiri.
Kata ‘Urf secara etimologi berarti “ sesuatu
yang di pandang baik dan diterima oleh akal sehat” Dari segi objeknya ‘Urf
dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan
al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu
al-‘urf al-‘am 9kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan
yang bersifat khusus). Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf
terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘urf
al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak). Para ualama ushul fiqh sepakat bahwa
‘urf al-shahih, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’.
DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin, 1999, Ushul
Fiqh II ,Jakarta : logos wacana Ilmu
Effendi, Satria dan M. Zein,2005, Ushul fiqih, Jakarta:
kencana
Koto, Alauddin. 2004, Ilmu Fiqhi
dan Ushul Fiqih. Cet. 1; Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
Syafe’i, Rachmat, 2010, Ilmu Usul
Fiqih, Bandung : CV Pustaka Setia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar