Minggu, 01 Juni 2014

MAKALAH USHUL FIQIH, Istishab dan 'Urf



TUGAS MANDIRI
USHUL FIQH
ISTISHAB DAN ‘URF
Dosen Pengampu:
Drs. H. Hadi Rahmat, Ma
STAIN Colour 2


 




Di susun oleh:

Nama              : MA’RUF MAHUDI
NPM               : 1398811
Prodi               : PAI
Kelas               : D
Semester         : II (Dua)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JURAI SIWO METRO
T.A. 2014

KATA PENGANTAR
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$#
“Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha Penyayang”
Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT  yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Usul fiqih.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Dosen yang telah mengarahkan sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat  pada waktunya. Makalah ini tersusun jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini maupun penyusunan makalah berikutnya.
Semoga makalah ini memberikan informasi dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.



Metro, 27 Maret 2014


Penyusun


DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

BABA I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A.    Latar Belakang..................................................................................... ....... 1
B.     Rumusan Maslah.................................................................................. ....... 1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................... ....... 2
A.    ISTISHAB.................................................................................................. 2
1.      Pengertian Istishab................................................................................ 2
2.      Macam-macam Istishab......................................................................... 2
3.      Kehujjahan Istishab............................................................................... 5
4.      Pandangan Ulama tentang Istishab............................................... ....... 5
B.     ‘URF............................................................................................................ 6
1.      Pengertian ‘Urf.............................................................................. ....... 6
2.      Macam-macam ‘Urf....................................................................... ....... 7
3.      hukum ‘urf..................................................................................... ....... 8
4.      Kehujjahan ‘Urf............................................................................. ..... 10
BAB II PENUTUP.............................................................................................. 11
A.    KESIMPULAN................................................................................... ..... 11
DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan hukum yaitu hukum yang disepakati dan hukum yang tidak disepakati. Seperti yang kita ketahui bahwa hukum yang kita sepakati tersebut yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Secara umum ada 7 hukum Islam yang tidak disepakati dan salah satu dia antaranya akan menjadi pokok pembahasan pada makalah ini yaitu Istishab.
Dalam istilah ahli ushul, istishab berarti menetapkan hukum menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam ungkapan lain, ia diartikan juga sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan itu.

B.  Rumusan Masalah
Bertitik tolak pada uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat menarik sebuah rumusan masalah sebagai berikut:
  1. Apa pengertian istishab?
  2. macam-macam istishab ?
  3. Apa kehujjahan istishab?
  4. Pendapat Ulama tentang Istishab ?
  5. Pengertian ‘Urf ?
  6. Macam-macam ‘Urf ?
  7. Hukum ‘Urf ?
  8. Kehujahhan ‘Urf ?





BAB II
PEMBAHASAN

A.           ISTISHHAB
1.    Pengertian Istishab
Istishab menurut bahasa ialah pengakuan kebersamaan. Sedangkan menurut istilah adalah menetapkan suatu hukum yang ada pada waktu yang lalu sebelum datang hukum atau dalil yang merubahnya. Dengan kata lain, Istishab adalah menjadikan satu hukum satu peristiwa yang ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada sumber hukum yang mengubah ketentuan hukum itu. Menurut istilah ahli usul fiqh, Istishab adalah :
“membiarkan berlangsungnya suatu hukum yang sudah ditetapkan pada masa lampau dan masih diperlukan ketentuannya sampai sekarang, kecuali jika ada dalil yang lain mengubahnya.”
Dan ulama berbeda pendapat dalam mendefenisikan istishab  diantaranya yaitu :
Abu Bakar Ismail Muhammad Miqa, dalam buku Methodologi Ijtihad Hukum Islam bememberikan defenisi tentang Istishab yaitu : “bahwa ketetapan masa lampau tetap berlaku selama tidak ada dalil yang mengubahnya.” Artinya, ketentuan masa lampau tetap berlaku hingga sekarang selama tidak terdapat dalil-dalil hukum baru yang mengubah kedudukan hukum lampau tersebut.
2.    Macam-macam Istishhab
a.     Istishab Aql
Istishab Aql adalah suatu keyakinan umum dalam rangka mendalami agama sehingga ulama  membedakan ajaran agama menjadi dua bagian, yaitu, Ibadah (tidak sepenuhnya sama dengan fiqih ibadah) dan Muamalah (tidak sepenuhnya sama dengan fiqih Muamalah).
Dalam bidang Agama, ulama Ushul Fiqih menentukan kaidah “hukum pokok adalah haram.” Atas dasar kaidah ini, ibadah tidak dapat ditambah dan dikurangi tampa ada petunjuk dari Allah dan rasul-Nya. Sebab sampai sekarang ini, tidak terdapat ulama yang mewajibkan melakukan sholat fardhu enam (6) waktu selain yang lima waktu berdasarkan sumber hukum islam.
Dalam hal Muamalah, ushul fiqih membuat sebuah kaidah yang berbunyi:  Al-aslu fiil asya’il ibahati.” Artinya : Hukum pokok sesuatu adalah boleh. Yaitu selama tidak ada ketentuan khusus yag mengharamkan atau menghalalkan nya.
Misalnya, Hukum Makan dan Minum, kerna tidak ada seorang ulama pun yang melarang untuk makan dan minum kerna tidak ada dalil Nash Al-qur’an dan As-sunnah yang melarangnya.

b.    Istishab Syara’
Istishab Syara’ adalah sesuatu perbuatan yang tegak karna perintah Allah dan rasul-Nya serta tidak ada dalil yang mengubah perintah tersebut. Misalnya, wudhu’ dan jumlah rokaat sholat. Seseorang yang hendak berwudhu’ untuk melaksanakan sholat merupakan perintah yang datang dari Nash (Al-qur’an dan As-sunnah).
Apabila seseorang merasa tidak yakin bahwa whudu’nya batal atau tidak, orang tersebut tidak perlu mengambil whudu’ kembali dari keterangan fakta diatas ulama ushul fiqih mengemukakan: ”Al-yakinu laa yaajalu biisakki.” Artinya : segala sesuatu yang meyakinkan tidak akan hilang keraguannya.
Kemudian ulama ushul fiqih mengemukakan sumber hukum (dalil) bahwa apabila tidak terdapat ketentuan hukum dalam Nash Al-qur’an dan As-sunnah termasuk ketentuan ijtihat lainnya maka semua boleh (ibadah).
Sebagaimana kaidah Ushuliyah yang berbunyi: ”Al-aslu fiil asya’il ibahati.” Artinya : Hukum pokok sesuatu adalah boleh.

c.       Istishab al-baroa’ah Al-ashiliyah
Yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya manusia bebas dari taklif (beban), sampai adanya dalil yang merubah status tersebut. Atas dasar inilah maka manusia bebas dari kesalahan sampai ada bukti bahwa ia telah berbuat salah. Oleh karena itu, seseeorang yang menuduh orang lain telah berbuat salah maka tuduhan itu tidak bisa dibenarkan secara hukum tanpa adanya bukti yang jelas.

d.      Istishab Al-ibaha al-ashiliyah
Yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal, yaitu mubah (boleh). Misalnya mengenai makanan dan minuman, selama tidak ada dalil yang melarangnya maka hal tersebut diperbolehkan. Sebab pada prinsipnya, segala sesuatu yang ada di bumi ini diperuntukan oleh Allah bagi kehidupan manusia, sesuai dengan firman-Nya pada surat al-Baqarah ayat 29 sebagai berikut :
3.      هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰٓ إِلَى ٱلسَّمَآءِ فَسَوَّىٰهُنَّ سَبۡعَ سَمَٰوَٰتٖۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ ٢٩
Artinya : Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.

e.    Istishab Ma Dalla al-Syar’u ‘ala Tsubut
Yaitu : istishab yang didasarkan atas tetapnya hukum yang sudah ada sampai ada dalil yang mencabutnya. Misalnya, seseorang yang sudah jelas melaksanakan akad pernikahan, maka status pernikahan itu tetap berlaku sampai terbukti adanya perceraian.

f.     Istishab al-Washfi
            Yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan tetapnya sifat yang ada dan diketahui sebelumnya, sampai ada bukti yang merubahnya. Misalnya, sifat air yang diketahui suci sebelumnya, maka air tersebut tetap suci sampai ada bukti yang menunjukan air tersebut menjadi najis. Demikian pula adanya sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang, maka ia tetap dianggap masih hidup sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa ia sudah meninggal.


3.    Kehujjahan Istishhab
          Istishhab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali bagi para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapnya. Ulama Ushul berkata. “Sesungguhnya Istishhab adalah akhir tempat beredarnya fatwa”. Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dalam pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai ketetapan untuk mereka.
          Seseorang manusia yang hidup tetap dihukumi atas hidupnya dan pengelolaan atas kehidupan ini diberikan kepadanya sampai terdapat dalil yang menunjukan adanya keputusan tentang kematianya. Setiap orang yang mengetahui wujud sesuatu, maka dihukumi wujudnya sampai terdapat dalil yang meniadakanya, dan barang siapa yang mengetahui ketiadaanya sesuatu, maka dihukumi dengan ketidakdanya sampai terdapat dalil yang menunjukan kebenaranya.
   Hukum telah berjalan menurut keadaan ini. Jadi, suatu kepemilikan misalnya, tetap menjadi milik siapa saja berdasarkan sebab beberapa kepemilikan. Maka kepemilikan itu dianggap ada sampai ad ketetapan yanag menghilangkan kepemilikan tersebut.
Istishhab juga telah dijadikan dasar bagi prinsip-prinsip syariat, antara lain sebagai berikut. “Asal sesuatu adalah ketetapan yang ada menurut keadaan semula sehingga terdapat suatu ketetapan yang mengubahnya”. Pendapat yang dianggap benar adalah Istishhab bisa dijadikan dalil hukum karena hakikatnya dalillah  yang telah menetapkan hukum tersebut. Istishhab itu tidak lain adalah dalalah dalil pada hukumnya.
4.    Pendapat Ulama tentang Istishhab
          Ulama Hanafiyah menetapkan  bahwa Istishhab merupakan hujjah untuk mempertahankan dan bukan untuk menetapkan apa-apa yang dimaksud oleh mereka. dengan pernyataan tersebut jelaslah bahwa Istishab merupakan ketetapan suatu yang telah ada menurut keadaan semula dan juga mempertahankan suatu yang berbeda sampai ada dalil yang menetapkan atas perbedaanya.
          Istishhab bukanlah hujjah untuk menetapkan suatu yang tidak tetap. Telah dijelaskan tentang penetapan orang yang hilang atau orang yang tidak diketahui tempat tinggalnya dan tempat kematianya, bahwa orang tersebut ditetapkan tidak hilang dan dihukumi sebagai orang hidup sampai adanya petunjuk yang menunjukan kematianya.
          Istishhab-lah yang menunjukan atas hidupnya orang tersebut dan menolak dugaan kematianya serta warisan harta bendanyajuga perceraian pernikahanya. Tetapi hal itu bukan lah hujjah untuk menetapkan pewaris dari lainya, karena hidup yang ditetapkan menurut Istishhab itu adalah hidup yang didasarkan pengakuan.

B.            ‘URF
1.    Pengertian ‘urf
Arti ‘urf  secara harfiyah adalah suatu keadaan,ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakanya atau meninggalkanya. Dikalangan masyarakat, ‘urf ini sering sering disebut sebagai adat.
Pengertian diatas, juga sama pengertian menurut istilah ahli syara’. Diantara contoh diatas ‘urf  yang bersifat perbuatan adalah adanya saling pengertian diantara manusia tentang jual beli tanpa mengucapkan shigat. Sedangkan contoh ‘urf  yang bersifat ucapan adalah adanya pengertian tentang kemutlakan lafal al-walad atas anak laki-laki bukan perempuan, dan juga meng-itlak-kan lafazh al-lahm yang bermakna daging atas as-samak yang bermakna ikan tawar.
          Dengan demikian, ‘urf  itu mencakup sikap saling pengertian diantara manusia atas perbedaan tingkataan diantara mereka, baik keumumanya ataupun kekhususanya. Maka ‘urf  berbeda dengan ijma’  karena ijma’ merupakan tradisi dari kesepakatan para mujtahidin secara khusus.

2.    Macam- macam ‘Urf
Jika ditinjau dari segi baik dan buruknya ‘urf (diterima atau tidaknya), urf itu dibagi dua,yakni:
1.        ‘Urf shahih yaitu yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan denga nash syara’,seperi membiasakan wakaf barang atau tanah.
2.        ‘Urf fasid,yaitu yang bertentangan denga nash syara,dan ‘urf ini tidak bisa diterima,seperti membiasakan perjanjian yang bersifat riba.
Jika ditinjau dari segi macamnya dibagi dua pula,yaitu:                 
1.        ‘Urf qauly,yaitu kebiasaan yang berupa perkataan,seperti: kalimat “lahmun” (لحم) artinya daging tetapi dalam perkataan ini daging ikan tidak termasuk,walaupun sudah dimaklumi bahwa ikan itu ada dagingnya. Lagi pula tidak ada perkataan mau membeli daging ikan itu.
2.        ‘Urf amaly,yaitu kebiasaan yang berupa perbuatan,seperti kebiasaan jual beli tanpa mengadakan sighat jual beli tapi cukup dengan menyerahkan uang dan menerima barang,jual belinya sudah dianggap sah.
Jika dilihat dari segi berlakunya, inipun dapat dibagi dua:
1.      ‘Urf ‘aam,yaitu urf yang dapat berlaku untuk seluruh tempat dan waktu,seperti menitipkan barang dengan memberi uang jagaan kepada yang dititipi.
2.      ‘Urf khas,yaitu adat yang berlaku hanya untuk sesuatu tempat,seperti penyerahan uang mahar,ada yang sebelum dilaksanakan aqad,bersama-sama dengan penyerahan barang (uang),ada pula secara tersendiri bersama-sama dengan waktu mengadakan aqad nikah,atau juga seperti yang berlaku dikalangan pedagang,mereka memberi hadiah sebagai balas jasa kepada langganan.

3.    Hukum ‘Urf
a.    ‘Urf  Sahih Pandangan para Ulama
Telah disepakati bahwa ‘urf  sahih itu harus dipelihara dalam pembentukan hukum dan pengadilan. Maka seseorang mujtahid diharuskan untuk memelihara ketika ia menetapkan hukum. Begitu juga seorang Qudhi (hakim) harus memeliharanya ketika sedang mengadili. sesuatu yang telah saling dikenal manusia meskipun tidak menjadi adat kebiasaan, tetapi telah disepakati dan dianggap mendatangkan kemasalahan bagi manusia serta selama hal hal itu tidak bertentangan dengan syara’ harus dipelihara.
Dan syari’ pun telah memelihara ‘urf  bangsa Arab yang sahih dalam membentuk hukum, maka difardukanlah diat (denda) atas prempuan yang berakal, disyaratkan kafa’ah (kesesuaian) dalam hal perkawinan, dan diperhitungkan pula adanya ashabah (ahli waris yang bukan penerima pembagian pasti dalam hal kematian dan pembagian harta pusaka).
Diantara para ulama ada yang berkata, Adat adalah syariat yang dikukuhkan sebagai hukum”. Begiyu juga ‘urf  menurut syara' mendapat pengakuan hukum. Imam Malik mendasarkan sebagian besar hukumnya pada perbuatan penduduk Madinah. Abu Hanifah bersama murid-muridnya berbeda pendapat dalam beberapa hukum dengan dasar atas perbuatan ‘urf  mereka. Sedangkan Imam Syafi’i ketika sudah berada di Mesir, mengubah mengubah sebagian pendapatnya tentang hukum yang telah dikeluarkannya dikeluarkanya ketika beliau berada di Bagdad. Hal ini karena perbadaan ‘urf, maka tak heran kalau beliau mempunyai dua mazhab, madzhab qadim (terdahulu/pertama) dan madzhab jadid (baru).
Begitu pula dalam Fiqih Hanafiyah, banyak hukum-hukum yang berdasarkan atas ‘urf , di antaranya apabila berselisih diantara dua orang terdakwa dan tidak terdapat saksi bagi salahnya, maka pendapat yang dibenarkan (dimenangkan) adalah pendapat orang yang disaksikan ‘urf. Apabila suami istri tidak sepakat atas mahar yang   muqaddam (terdahulu) atau yang mu’akhar (terakhir) maka hukumnya adalah ‘urf. Barang siapa bersumpah tidak akan makan daging, kemudian ia makan ikan tawar. maka tidak berarti bahwa ia melanggar sumpahnya menurut dasar ‘urf.
Pendapat yang di nukil itu adalah sah apabila telah menjadi ‘urf. Jadi, syarat sah akad itu apabila ketentuan tentang hal itu terdapat dalam syara’ atau apabila dituntut oleh akad atau apabila berjalan padanya ‘urf. Al-Marhum Ibnu Abidin telah menyusun Risalah yang ia namakan “Menyebarkan ‘urf di antara hukum-hukum yang dibentuk berdasarkan ‘urf “  Diantara ungkapanya yang terkenal “Apa-apa yang di mengerti secara ‘urf  adalah seperti yang disyaratkan menurut syara’ , dan apa-apa yang telah ditetapkan menurut nash”.
b.        Hukum ‘Urf  Fasid
Adapun ‘urf  yang rusak, tidak diharuskan untuk memeliharanaya, karena memeliharanya itu berarti menentang dalil syara’ atau membantalkan syara’. Apabila manusia telah saling mengerti nakad-akad yang rusak, seperti akad riba atau akad gharar atau khathar (tipuan dan membahayakan), maka bagi ‘urf  ini tidak mempunyai pengaruh dalam membolehkanya,
Akad bisa di tinjau dari segi lain, yaitu apabila akad tersebut dianggap darurat atau sesuai dengan hajat manusia? Artinya, apabila akad tersebut membatalkan, maka berarti menipu peraturan kehidupan mreka atau mereka akan memperoleh kesulitan. Jika hal itu termasuk darurat atau kebutuhan mereka, akad itu diperbolehkan, karena keadaan darurat dibolehkan melakukan hal-hal yang telah diharamkan, sedang hajat itu bisa mendudukitempat kedudukan darurat. Namun, jika tidak termasuk darurat atau kebutuha mereka, maka dihukumi dengan batalnya akad tersebut dan berdasarkan hal ini maka ‘urf  tidak diakui.
Hukum-hukum yang didasrkan ‘urf  itu dapat berubah menurut perubahan zaman dan perubahan asalnya. Karena itu, para Fuqaha berkata, “Perselisihan itu adalah perselisihan masa dan zaman, bukan perselisihan hujjah dan bukti”.
4.    Kehujjahan ‘urf
‘Urf  menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’ tersendiri. pada umumnya, ‘urf ditunjukan untuk memelihara kemasalahan umat serta menunjang pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Dengan ‘urf dikhususkan lafal yang ‘amm (umum) dan dibatasi yang mutlak. Karena ‘uruf  pula terkadang qiyas itu ditinggalkan. karena iti, sah mengadakan kontrak borongan apabila ‘urf sudah terbiasa dalam hal ini, sekalipun tidak sah menurut qiyas, karena kontrak tersebut adalah kontrak atas perkara yang ma’dum (tiada).




BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Istishab merupakan landasan hukum yang masih diperselisihkan akan tetapi kita sebagai umat Islam sepatutnya kita mempelajari dan mengatahui setiap hukum-hukum yang ada. Istishab merupakan suatu hukum yang menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaanya semula selama belum terbukti sesuatu yang mengubahnya.
Dalam melihat hukum istishab, kita jangan melihat jangan melihat dari satu sudut pandang saja, akan tetapi mempejari secara cermat mengenai seluk beluk istishab itu sendiri.
Kata ‘Urf secara etimologi berarti “ sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh akal sehat” Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am 9kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus). Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak). Para ualama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’.



DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin, 1999, Ushul Fiqh II ,Jakarta : logos wacana Ilmu
Effendi, Satria dan  M. Zein,2005, Ushul fiqih, Jakarta: kencana
Koto, Alauddin. 2004, Ilmu Fiqhi dan Ushul Fiqih. Cet. 1; Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
Syafe’i, Rachmat, 2010, Ilmu Usul Fiqih, Bandung : CV Pustaka Setia






Tidak ada komentar:

Posting Komentar