Minggu, 01 Juni 2014

Makalah Ushul Fiqih, Saddudz Dzaria'ah Qaulu Sahabiy



MAKALAH
TUGAS MANDIRI
USHUL FIQIH
SADDUDZ DZARIA’AH QAULU SAHABIY

O
L
E
H
NAMA: MA’RUF MAHUDI (1398811)
KELAS: PAI ( D )



 










DOSEN PENGAMPU: Drs. H. Hadi Rahma, MA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI
STAIN JURAI SIWO METRO
Alamat: Jalan Ki Hajar Dewantara 15 A Iring Mulyo Kota Metro Telp. (0725)41507 Lampung
T/P: 2014/2015


KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim.
            Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT. Yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat mempersembahkan materi ‘Ulumul Qur’an ini kepada para mahasiswa STAIN Jurai Siwo Metro pada khususnya, dan para mahasiswa STAIN pada umumnya.
Shalawat beserta salamnya Allah tidak lupa kami haturkan kepada junjungan kita beliaulah yaitu nabi besar Muhammad SAW, yang mampu membawa umatnya dari jaman kegelapan menuju jalan terang benerang yaitu sinar agama islam.
            Di dalam makalah ini kami gunakan pendekatan secara historis. kami bermaksud agar makalah ini dapat di anyam dalam suatu sistem, maksudnya agar makalah ini tidak menjemuhkan dan relatif enak di baca.
            Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekuranganya, mungkin juga banyak terdapat kesalahan, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari Bapak/Ibu dan mahasiswa agar makalah ini bisa menjadi lebih baik.



Metro, 10 April 2014



Kelompok









DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN....................................................................   1
a.     Latar Blakang Masalah..............................................................  1
b.     Rumusan Masalah .....................................................................   1
c.      Tujuan Pembahasan...................................................................   1

BAB II  PEMBAHASAN....................................................................    2
a.     Saddudz Dzari’ah...................................................................    2
b.     Qaulu Sahabiy........................................................................    3

BAB III PENUTUP.............................................................................
KESIMPULAN....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................











BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Blakang
Sudduz Dzariah dan Qaulu Sahabiy. Sudduz Dzariah terdiri dari dua kata, yaitu Suddu dan Dzariah. Suddu bermakna penghalang atau jembatan. Sedangkan Dzariah berarti jalan.Ibn Qayyim Al-Jaujiyah, mengatakan bahwa pembatasan pengertian djari’ah  kepada sesuatu yang dilarang sajatidak tepat, karena ada juga djari’ah yang bertujuan kepada yang dianjurkan. Oleh karena itu, pengertian djari’ah lebih baik dikemukakan yang bersifat umum, sehingga djari’ah mengandung dua pengertian, yaitu yang dilarang disebut sadd adzdzariah dan yang dituntut untuk dilaksanakan disebut fath adz-dzariah. Sedangkan Qaulu Sahabiy ialah orang mukmin yang bertemu muka dengan nabi serta bergaul lama dengan beliau.

B.       Rumusan Masalah
1)   Apakah pengertian dari Suddu Dzariah dan qaulu sahabiy
2)   Untuk apakah mempelajari ilmu Suddu Dzariah dan qaulu sahabiy
3)   Ada berapakah pembagian dari Suddu Dzariah dan qaulu sahabiy

C.      Tujuan Pembahasan
1)   Untuk mengetahui pengertian dari Suddu Dzariah dan qaulu sahabiy
2)   Untuk mempelajari ilmu Suddu Dzariah dan qaulu sahabiy
3)   Untuk mengetahui berapakah pembagian dari Suddu Dzariah dan qaulu sahabiy










BAB II
PEMBAHASAN
A.  Saddudz Dzaria’ah
Saddudz dzari’ah  terdiri dari dua kata, yaitu saddu dan dzari’ah. Saddu  bermakna penghalang atau sumbatan. Sedangkan dzari’ah  bararti jalan.
مَا كَانَ وَسِيْلَةً وَطَرِىقاً اِلَي الشَيْءِ 
Apa-apa yang menjadi perantara dan jalan sesuatu.
Maksudnya menghambat atau menghalangi atau menyanmbut semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat. Ibn Qayyim Al-Jaujuyah, mengatakan bahwa pembatasan pengertian djari’ah kepada sesuatu yang dilarang sajatidak tepat, karena ada juga djari’ah yang bertujuan kepada yang dianjurkan. Oleh karena itu, pengertian djari’ah lebih baik di kemukakan yang bersifat umum, sehingga djari’ah mengandung dua pengertian, yaitu yang disebut dilarang dengan sadd adz-dzari’ah dan dan yang dituntut untuk dilaksanakan disebut adz-dzari’ah.
Tujuan menetapkan Saddudz dzari’ah  adalah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan atau terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan dari maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkanya hukum atas mukallaf, yaitu untuk mencapai kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan. Untuk mencapai tujuan ini syari’at menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan. Dalam memenuhi perintah dan menghentikan larangan itu, ada yang dapat dikerjakan secara langsung, ada juga yang tikdak ditetapkan secara langsung, perlu ada hal yang harus dikerjaka sebelumnya.
MACAM SADD ADZ-DZARI’AH
Ada dua macam pembagian dzari’ah.
1.         Dzari’ah dilihat dari segi kualitas ke-mafsadat-anya. Imam Asy-Syatibi menyatkan bahwa dilihat dari segi kualitas ke-mafsadat-anya, dibagi kepada empat macam.
a.       Perbuatan yang dilakukan itu membawa kepada ke-mafsadat-an secara pasti (qath’i).
b.      Perbuatan yang dilakukan itu boleh dilakukan, karena jarang membawa kepada ke-mafsadat-an.
c.       Perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan membawa kepada ke-mafsadat-an.
d.     Perbuatan itu pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi memungkinkan juga perbuatan itu membawa kepada ke-mafsadat-an.
2.      Dzari’ah dilihat dari segi jenis ke-mafsadat-anya yang ditimbulkanya. Menurut Ibnu Qayyim Al-Jaujiyah, djari’ah dari segi ini terbagi kapada:
a.       Pembuatan itu membawa kepada suatu ke-mafsadat-an, seperti meminum minumman keras yang mengakibatkan mabuk, dan mabuk itu sesuai ke-mafsadat-an.
b.      Perbuatan itu pada dasarnya perbuatan yang dibolehkan atau dianjurkan, tetapi jalan untuk melekukan suatu perbuatan yang haram, baik dengan tujuan yang disengaja atau tidak.

B.       Qaulu Sahabiy
1.              Pengertian Qaulu sahabiy
صل الله علىه وسلم
 
Sahabiy, diterjemahkan sahabat nabi, adalah orang mukmin yang pernah bertemu muka dengan nabi        serta bergaul lama dengan beliau. Inilah pengertian yang dianut oleh para ulama’ ushul fiqih. Untuk menyebut contoh sahabiy tersebut, yaitu Abu Bakar, Umal bin Al-khaththab, Usman bin ‘Affan, Abdullah bin Mas’ud dan lain sebagainya.
2.               Kedudukan qaulu sahabiy
Para ulama’ berbeda pendapat tentang  qaulu sahabiy sebagai hujjah syar’iyyah. Kalangan ulama’ Hanafiyah berpandangan bahwa qaulu sahabiy merupakan hujjah syari’ah bagi perkara yang tidak dapat dijangkau oleh qiyas, kedudukan qaulu sahabiy diperselisihkan kalangan internal mereka ; ada yang meyakininya sebagai hujjah syari’ah, yang harus dipriotiskan ketimbang qiyas, dan ada yang memendangnya bukan hujjah syar’iyyah.
Kalangan ulama’ malakiyyah berpendapat bahwa qaulu sahabiy merupakan hujjah syar’iyyah, yang harus diprioritaskan ketimbang qiyas. Kalangan ulama’ syafi’iyyah berpandangan bahwa qaulu sahabiy tidak bisa digunakan senagai hujjah syar’iyyah sama sekali.
3.      Implikasi dari perbedaan pandangan
a.      Jual beli inah (bai; al-‘inah)
Jual beli inah (bai’ al-inah) adalah suatu bentuk jual beli, seperti si A menjual suatu barang kepada si B dengan harga tertentu untuk jangka tertentu untuk jangka waktu tertentu (secara tempo), lalu si A membeli kembali barang itu dari si B dengan harga yang ;ebih rendah secarai tunai. Jual beli ini terkadang disebut juga dengan bai’ al-ajal. Para ulama’ berbeda pendapat tentang status hukum jual beli semacam ini.
Kalangan ulama’ syafi’iyah membolehkan jual beli ‘inah (bai’ al-anah) ini.
Kalangan ulama’ Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah memendang haram dan tidah sah hukumnya transaksi jual beliyang mengiringi, yakni jual beli antara siA dan si B dengan harga yang lebih rendah secara tunai.
b.      Kadar waktu terlama kehamilan
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai kadar wahtu yerlama kehamilan seorang perempuan.
Kalangan ulama’ hanafiyyah mengatakan bahwa kadar waktu terlama kehamilan seorang perempuan adalah dua tahun. Mereka merujuk kepada qaulu sahabiy, yakni qaul Aisyah, yang menyatakan:
االولد لا يبقي في البطنى اكثر من سنتين ولو فلكة مغجرل
Anak tidak tinggal di dalam perut (ibunya) lebih dari dua tahun meskipun sebulatan pintang benang.
Dengan demikian, mereka telah mengapklikasikan qaul sahabiy sebagai hujjah syar’iyyah.
kalangan ulamak Syafi’iyyah, Malikiyyah, dan Hanabillah berpendapat bahwa kadar waktu terlama kehamilan seorang perempuan adalah empat tahun. Argumentasi mereka,yakni bagi perkara yang tidak ada landasan dari nash syara’ perkara itu harus dikembalikan kepada fakta kehidupan, dan bahwa fakta kehidupan menunjukan adanya sejumblah bayi yang hidup dalam kandungan ibunya selama empat tahun.
c.       Kadar ganti rugi atas pencedraan hewan twrnak
Kalangan ulama’ Hanafiyyah memendan perlunya perbedaan macam hewan ternak dalam kasus tersebut. menurut mereka, apabila hewan ternak yang dicedrai itu berupa kambing/atau domba maka kadar ganti ruginya adalah senilai dengan harga yang terkurangi dari harga standar kambing/domba itu, hal ini karena daging hewan itulah yang menjadi sasaran pokok pemanfaatan. Sedangkan, apabila hewan ternak yang dicedrai itu berupa hewan bukan kambing/domba, seperti unta, sapi dan kuda maka kadar ganti ruginya adalah sperempat dari harga standar kambing itu. Dasar argumen mereka adalah qaulu sahabiy, yakni qaul Umal bin Al-Khathab.
Kalangan ulama’ Malikiyyah, Syafi’iyyah dan hanabilah berpendapat bahwa apa bila hewan ternak dan apa pun macamnya dicedrai, maka kadar ganti ruginya adalah senilai dengan harga yang terkurangi dari harga standar hewan itu. Dasar argumen mereka adalah qiyas.
d.      Kadar waktu tersingkat menstruasi
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai kadar waktu tersingkat menstruasi. Kalangan ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa kadar waktu tersingkat menstruasi kaum prempuan adalah 3 x 24 jam (tiga hari). Dasar argumen mereka adalah qaulu sahabiy, yakni qaul anas bin malik, yang menyatakan bahwa masa menstruasi kaum prempuan adalah tiga sampai sepuluh hari.
Kalangan ulama’ Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah berpandangan bahwa kadar waktu tersingkat menstruasi kaum perempuan adalah 1x24 jam (satu hari). Argumentasi yang mereka kemukakan, yakni bahwa masalah ini disinggung oleh nash syara’ secara mutlaq,  tanpa ada ketentuan batasan waktu atas masa tersingkat menstruasi kaum perempuan itu, sehingga masalah ini harus dikembalikan kepada ‘urf atai aidah, dan berdasarkan ‘urf atau aidah terbukti bahwa kadar waktu tersingkat menstruasi kaum perempuan itu adalah 1x24 jam (satu hari).  
e.       Menikahi perempan yang sedang iddah dari suaminya yang terdahulu serta menyetubuhinya.
Apabila si A ditalak oleh suaminnya, si B; maka si A menjalani masa iddah Akan tetapi, belum juga habis masa iddah nya, si A menikah lagi dengan lelaki lain, si D; dan akhirnya si D menyetubuhi si A. bagaimanakah hukum pernikahan tersebut?
Kalangan ulama Malikiyyah berpendapat bahwa pernikahan antara si D (laki-laki) dan si A (perempuan) batal demi hukum; ikatan pernikahan keduanya harus dibubarkan, dan keduanya diharamkan bersatu dalam ikatan pernikahan untuk selama-lamannya. Dasar argumen mereka ialah qaulu sahaby yakni qaul Umar bin al-Khatab.
Kalangan ulama Syafi’iyyah dan Hanafiyyah berpandangan bahwa calon suami yang berikutnya boleh menikahi perempuan itu sesudah habis dua masa iddah nya.
f.       Kedudukan Isteri Ketika Suaminya hilang, tidak di ketahui Kabarnya.
Kalangan ulama Malikiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa apabila sang suami hilang, tidak diketahu kabarnya, si Istri harus menahan diri selama empat tahun (masa terlama kehamilan), lalu ia iddah karena di tinggal wafat suami selama 4 bulan 10 hari, dan sesudah itu halal baginya menikah dengan laki-laki lain. Dasar argumen yang mereka kemukakan ialah qaulu sahaby, yakni qaulu Umar.
Kalangan ulama’ Hanafiyyah berpandangan bahwa ikatan pernikahan antara sang suami dan istrinya itu tidak bisa di bibarkan kecuali apabila telah tercapai masa 120 tahun sejak kelahiran suami tersebut; kalau sudah tercapai, baru diputuskan bahwa ia sudah wafat. Mereka merujuk kepada hadits tentang kedudukan istri dari sang suami yang hilang, tak diketahui rimbanya, nabi SAW menyatakan;
إنها امرأته حتى يأ تىها البيان
Sesungguhnya dia adalah istrinya sampai datang keterangan kepadanya
g.      Kewarisan perempuan yang ditalak Bain saat suaminya berpenyakit keritis
Kalangan ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa apabila seorang istri ditalak bain ketika sang suami tengah berpenyakit keristis, lalu ia meninggal sebelum si istri habis masa iddahnya si (mantan) istri itu berhak atas pewarisan harta pusaka suaminya. Pandangan mereka mengaju kepada qaulu sahabiy, yakni qaul Ustman bin Affan.
Ksalangan ulama’ Safi’iyyah mengatakan bahwa si (mantan) istri itu tidak berhak atas pewarisan harta pusaka suaminya karena hukum talak, baik dikala sehat maupun dikala sakit adalah sama saja. Argumentasi yang mereka kemukakan yakni bahwa dalam kondisi yang sama, sang suami tidak berhak pula atas pewarisan harta pusalka  istrinya, maka demikian pula sang istri; bahwa sang suami tidak mempunyai hak rujuk, sehingga ia sebenarnya bukan lagi suami dari si istri (perempuan); bahwa sang istri tidak ber iddah   dengan iddah wafat melainkan dengan iddah talak; dan bahewa sang suami boleh menikahi saudari (perempuan) dari si istri dan juga boleh menikahi empat perempuan lainya. Semua itmenunjukan bahwa si istri itu sesungguhnya bukanlah lagi istri dari sang suami; dan Allah menetapkan hubungan kewarisan selama terdapat hubungan persuami istrian diantara keduanya.




























DAFTAR PUSTAKA

Totok jumantoro, Kamus Ushul Fiqih, (Jakarta Amzah, Sinar Grafik Offset )
Samsul Munir Amin, Kamus Ushul Fiqih, (Jakarta Amzah, Sinar Grafik Offset )
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih, (Jakarta Amzah, Imprit Bumi Angkasa)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar