MAKALAH
TUGAS MANDIRI
USHUL FIQIH
SADDUDZ DZARIA’AH QAULU SAHABIY
O
L
E
H
NAMA: MA’RUF MAHUDI (1398811)
KELAS: PAI ( D )
DOSEN PENGAMPU: Drs. H. Hadi Rahma, MA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI
STAIN JURAI SIWO METRO
Alamat: Jalan Ki
Hajar Dewantara 15 A Iring Mulyo Kota Metro Telp. (0725)41507 Lampung
T/P: 2014/2015
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim.
Puji syukur kami panjatkan ke
hadirat Allah SWT. Yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami
dapat mempersembahkan materi ‘Ulumul Qur’an ini kepada para mahasiswa STAIN
Jurai Siwo Metro pada khususnya, dan para mahasiswa STAIN pada umumnya.
Shalawat
beserta salamnya Allah tidak lupa kami haturkan kepada junjungan kita beliaulah
yaitu nabi besar Muhammad SAW, yang mampu membawa umatnya dari jaman kegelapan
menuju jalan terang benerang yaitu sinar agama islam.
Di dalam makalah ini kami gunakan
pendekatan secara historis. kami bermaksud agar makalah ini dapat di anyam
dalam suatu sistem, maksudnya agar makalah ini tidak menjemuhkan dan relatif
enak di baca.
Kami menyadari bahwa makalah ini
masih banyak kekuranganya, mungkin juga banyak terdapat kesalahan, oleh karena
itu kami mengharapkan kritik dan saran dari Bapak/Ibu dan mahasiswa agar
makalah ini bisa menjadi lebih baik.
Kelompok
DAFTAR
ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB
I PENDAHULUAN.................................................................... 1
a.
Latar
Blakang Masalah..............................................................
1
b.
Rumusan
Masalah ..................................................................... 1
c.
Tujuan
Pembahasan................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN.................................................................... 2
a. Saddudz Dzari’ah................................................................... 2
b. Qaulu Sahabiy........................................................................ 3
BAB
III PENUTUP.............................................................................
KESIMPULAN....................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA..........................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Blakang
Sudduz Dzariah dan Qaulu
Sahabiy. Sudduz Dzariah terdiri dari dua kata, yaitu Suddu dan Dzariah.
Suddu bermakna penghalang atau jembatan. Sedangkan Dzariah berarti
jalan.Ibn Qayyim Al-Jaujiyah, mengatakan bahwa pembatasan pengertian djari’ah
kepada sesuatu yang dilarang
sajatidak tepat, karena ada juga djari’ah yang bertujuan kepada yang
dianjurkan. Oleh karena itu, pengertian djari’ah lebih baik dikemukakan
yang bersifat umum, sehingga djari’ah mengandung dua pengertian, yaitu
yang dilarang disebut sadd adzdzariah dan yang dituntut untuk
dilaksanakan disebut fath adz-dzariah. Sedangkan Qaulu Sahabiy ialah
orang mukmin yang bertemu muka dengan nabi serta bergaul lama dengan beliau.
B.
Rumusan Masalah
1)
Apakah pengertian dari Suddu Dzariah dan qaulu sahabiy
2)
Untuk apakah mempelajari ilmu Suddu Dzariah dan qaulu
sahabiy
3)
Ada berapakah pembagian dari Suddu Dzariah dan qaulu
sahabiy
C.
Tujuan Pembahasan
1)
Untuk mengetahui pengertian dari Suddu Dzariah dan qaulu
sahabiy
2)
Untuk mempelajari ilmu Suddu Dzariah dan qaulu sahabiy
3)
Untuk mengetahui berapakah pembagian dari Suddu Dzariah dan qaulu
sahabiy
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Saddudz Dzaria’ah
Saddudz dzari’ah terdiri dari dua kata, yaitu saddu dan dzari’ah.
Saddu bermakna penghalang atau
sumbatan. Sedangkan dzari’ah bararti jalan.
مَا كَانَ وَسِيْلَةً
وَطَرِىقاً اِلَي الشَيْءِ
Apa-apa yang menjadi perantara dan jalan sesuatu.
Maksudnya
menghambat atau menghalangi atau menyanmbut semua jalan yang menuju kepada
kerusakan atau maksiat. Ibn Qayyim Al-Jaujuyah, mengatakan bahwa pembatasan
pengertian djari’ah kepada sesuatu yang dilarang sajatidak tepat, karena
ada juga djari’ah yang bertujuan kepada yang dianjurkan. Oleh karena
itu, pengertian djari’ah lebih baik di kemukakan yang bersifat umum,
sehingga djari’ah mengandung dua pengertian, yaitu yang disebut dilarang
dengan sadd adz-dzari’ah dan dan yang dituntut untuk dilaksanakan
disebut adz-dzari’ah.
Tujuan menetapkan Saddudz dzari’ah adalah untuk memudahkan tercapainya
kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan atau terhindarnya
diri dari kemungkinan perbuatan dari maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan
ditetapkanya hukum atas mukallaf, yaitu untuk mencapai kemaslahatan dan
menjauhkan diri dari kerusakan. Untuk mencapai tujuan ini syari’at menetapkan
perintah-perintah dan larangan-larangan. Dalam memenuhi perintah dan
menghentikan larangan itu, ada yang dapat dikerjakan secara langsung, ada juga
yang tikdak ditetapkan secara langsung, perlu ada hal yang harus dikerjaka
sebelumnya.
MACAM SADD ADZ-DZARI’AH
Ada dua macam pembagian dzari’ah.
1.
Dzari’ah dilihat
dari segi kualitas ke-mafsadat-anya. Imam Asy-Syatibi menyatkan bahwa
dilihat dari segi kualitas ke-mafsadat-anya, dibagi kepada empat macam.
a.
Perbuatan yang dilakukan itu membawa kepada ke-mafsadat-an secara
pasti (qath’i).
b.
Perbuatan yang dilakukan itu boleh dilakukan, karena jarang membawa
kepada ke-mafsadat-an.
c.
Perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan
membawa kepada ke-mafsadat-an.
d.
Perbuatan itu pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung
kemaslahatan, tetapi memungkinkan juga perbuatan itu membawa kepada ke-mafsadat-an.
2.
Dzari’ah dilihat
dari segi jenis ke-mafsadat-anya yang ditimbulkanya. Menurut Ibnu Qayyim
Al-Jaujiyah, djari’ah dari segi ini terbagi kapada:
a.
Pembuatan itu membawa kepada suatu ke-mafsadat-an, seperti
meminum minumman keras yang mengakibatkan mabuk, dan mabuk itu sesuai ke-mafsadat-an.
b.
Perbuatan itu pada dasarnya perbuatan yang dibolehkan atau
dianjurkan, tetapi jalan untuk melekukan suatu perbuatan yang haram, baik
dengan tujuan yang disengaja atau tidak.
B.
Qaulu Sahabiy
1.
Pengertian Qaulu sahabiy
|
2.
Kedudukan qaulu sahabiy
Para
ulama’ berbeda pendapat tentang qaulu
sahabiy sebagai hujjah syar’iyyah. Kalangan ulama’ Hanafiyah
berpandangan bahwa qaulu sahabiy merupakan hujjah syari’ah bagi
perkara yang tidak dapat dijangkau oleh qiyas, kedudukan qaulu
sahabiy diperselisihkan kalangan internal mereka ; ada yang meyakininya
sebagai hujjah syari’ah, yang harus dipriotiskan ketimbang qiyas, dan
ada yang memendangnya bukan hujjah syar’iyyah.
Kalangan ulama’ malakiyyah berpendapat bahwa qaulu sahabiy merupakan
hujjah syar’iyyah, yang harus diprioritaskan ketimbang qiyas. Kalangan
ulama’ syafi’iyyah berpandangan bahwa qaulu sahabiy tidak bisa
digunakan senagai hujjah syar’iyyah sama sekali.
3.
Implikasi dari perbedaan pandangan
a.
Jual beli inah (bai; al-‘inah)
Jual
beli inah (bai’ al-inah) adalah suatu bentuk jual beli, seperti
si A menjual suatu barang kepada si B dengan harga tertentu untuk jangka
tertentu untuk jangka waktu tertentu (secara tempo), lalu si A membeli kembali
barang itu dari si B dengan harga yang ;ebih rendah secarai tunai. Jual beli
ini terkadang disebut juga dengan bai’ al-ajal. Para ulama’ berbeda
pendapat tentang status hukum jual beli semacam ini.
Kalangan ulama’ syafi’iyah membolehkan jual beli ‘inah (bai’
al-anah) ini.
Kalangan ulama’ Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah memendang
haram dan tidah sah hukumnya transaksi jual beliyang mengiringi, yakni jual
beli antara siA dan si B dengan harga yang lebih rendah secara tunai.
b.
Kadar waktu terlama kehamilan
Para
ulama’ berbeda pendapat mengenai kadar wahtu yerlama kehamilan seorang
perempuan.
Kalangan ulama’ hanafiyyah mengatakan bahwa kadar waktu terlama
kehamilan seorang perempuan adalah dua tahun. Mereka merujuk kepada qaulu
sahabiy, yakni qaul Aisyah, yang menyatakan:
االولد
لا
يبقي
في
البطنى
اكثر
من
سنتين
ولو
فلكة
مغجرل
Anak tidak
tinggal di dalam perut (ibunya) lebih dari dua tahun meskipun sebulatan pintang
benang.
Dengan demikian, mereka telah mengapklikasikan qaul sahabiy sebagai
hujjah syar’iyyah.
kalangan ulamak Syafi’iyyah, Malikiyyah, dan Hanabillah berpendapat
bahwa kadar waktu terlama kehamilan seorang perempuan adalah empat tahun.
Argumentasi mereka,yakni bagi perkara yang tidak ada landasan dari nash syara’
perkara itu harus dikembalikan kepada fakta kehidupan, dan bahwa fakta
kehidupan menunjukan adanya sejumblah bayi yang hidup dalam kandungan ibunya
selama empat tahun.
c.
Kadar ganti rugi atas pencedraan hewan twrnak
Kalangan
ulama’ Hanafiyyah memendan perlunya perbedaan macam hewan ternak dalam kasus
tersebut. menurut mereka, apabila hewan ternak yang dicedrai itu berupa
kambing/atau domba maka kadar ganti ruginya adalah senilai dengan harga yang
terkurangi dari harga standar kambing/domba itu, hal ini karena daging hewan
itulah yang menjadi sasaran pokok pemanfaatan. Sedangkan, apabila hewan ternak
yang dicedrai itu berupa hewan bukan kambing/domba, seperti unta, sapi dan kuda
maka kadar ganti ruginya adalah sperempat dari harga standar kambing itu. Dasar
argumen mereka adalah qaulu sahabiy, yakni qaul Umal bin
Al-Khathab.
Kalangan ulama’ Malikiyyah, Syafi’iyyah dan hanabilah berpendapat
bahwa apa bila hewan ternak dan apa pun macamnya dicedrai, maka kadar ganti
ruginya adalah senilai dengan harga yang terkurangi dari harga standar hewan
itu. Dasar argumen mereka adalah qiyas.
d.
Kadar waktu tersingkat menstruasi
Para
ulama’ berbeda pendapat mengenai kadar waktu tersingkat menstruasi. Kalangan
ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa kadar waktu tersingkat menstruasi kaum
prempuan adalah 3 x 24 jam (tiga hari). Dasar argumen mereka adalah qaulu
sahabiy, yakni qaul anas bin malik, yang menyatakan bahwa masa
menstruasi kaum prempuan adalah tiga sampai sepuluh hari.
Kalangan
ulama’ Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah berpandangan bahwa kadar waktu
tersingkat menstruasi kaum perempuan adalah 1x24 jam (satu hari). Argumentasi
yang mereka kemukakan, yakni bahwa masalah ini disinggung oleh nash syara’
secara mutlaq, tanpa ada
ketentuan batasan waktu atas masa tersingkat menstruasi kaum perempuan itu,
sehingga masalah ini harus dikembalikan kepada ‘urf atai aidah, dan berdasarkan
‘urf atau aidah terbukti bahwa kadar waktu tersingkat menstruasi kaum perempuan
itu adalah 1x24 jam (satu hari).
e.
Menikahi perempan yang sedang iddah dari suaminya yang terdahulu
serta menyetubuhinya.
Apabila
si A ditalak oleh suaminnya, si B; maka si A menjalani masa iddah Akan
tetapi, belum juga habis masa iddah nya, si A menikah lagi dengan lelaki
lain, si D; dan akhirnya si D menyetubuhi si A. bagaimanakah hukum pernikahan
tersebut?
Kalangan ulama Malikiyyah berpendapat bahwa pernikahan antara si D
(laki-laki) dan si A (perempuan) batal demi hukum; ikatan pernikahan keduanya
harus dibubarkan, dan keduanya diharamkan bersatu dalam ikatan pernikahan untuk
selama-lamannya. Dasar argumen mereka ialah qaulu sahaby yakni qaul Umar
bin al-Khatab.
Kalangan ulama Syafi’iyyah dan Hanafiyyah berpandangan bahwa calon
suami yang berikutnya boleh menikahi perempuan itu sesudah habis dua masa iddah
nya.
f.
Kedudukan Isteri Ketika Suaminya hilang, tidak di ketahui Kabarnya.
Kalangan ulama Malikiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa apabila
sang suami hilang, tidak diketahu kabarnya, si Istri harus menahan diri selama
empat tahun (masa terlama kehamilan), lalu ia iddah karena di tinggal
wafat suami selama 4 bulan 10 hari, dan sesudah itu halal baginya menikah dengan
laki-laki lain. Dasar argumen yang mereka kemukakan ialah qaulu sahaby, yakni
qaulu Umar.
Kalangan ulama’ Hanafiyyah berpandangan bahwa ikatan pernikahan
antara sang suami dan istrinya itu tidak bisa di bibarkan kecuali apabila telah
tercapai masa 120 tahun sejak kelahiran suami tersebut; kalau sudah tercapai,
baru diputuskan bahwa ia sudah wafat. Mereka merujuk kepada hadits tentang
kedudukan istri dari sang suami yang hilang, tak diketahui rimbanya, nabi SAW
menyatakan;
إنها امرأته حتى يأ تىها البيان
Sesungguhnya dia adalah istrinya sampai datang keterangan kepadanya
g.
Kewarisan perempuan yang ditalak Bain saat suaminya
berpenyakit keritis
Kalangan
ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa apabila seorang
istri ditalak bain ketika sang suami tengah berpenyakit keristis, lalu
ia meninggal sebelum si istri habis masa iddahnya si (mantan) istri itu
berhak atas pewarisan harta pusaka suaminya. Pandangan mereka mengaju kepada qaulu
sahabiy, yakni qaul Ustman bin Affan.
Ksalangan
ulama’ Safi’iyyah mengatakan bahwa si (mantan) istri itu tidak berhak atas
pewarisan harta pusaka suaminya karena hukum talak, baik dikala sehat maupun
dikala sakit adalah sama saja. Argumentasi yang mereka kemukakan yakni bahwa
dalam kondisi yang sama, sang suami tidak berhak pula atas pewarisan harta
pusalka istrinya, maka demikian pula
sang istri; bahwa sang suami tidak mempunyai hak rujuk, sehingga ia sebenarnya
bukan lagi suami dari si istri (perempuan); bahwa sang istri tidak ber iddah dengan iddah wafat melainkan
dengan iddah talak; dan bahewa sang suami boleh menikahi saudari
(perempuan) dari si istri dan juga boleh menikahi empat perempuan lainya. Semua
itmenunjukan bahwa si istri itu sesungguhnya bukanlah lagi istri dari sang
suami; dan Allah menetapkan hubungan kewarisan selama terdapat hubungan
persuami istrian diantara keduanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Totok jumantoro, Kamus Ushul Fiqih, (Jakarta
Amzah, Sinar Grafik Offset )
Samsul Munir Amin, Kamus Ushul Fiqih,
(Jakarta Amzah, Sinar Grafik Offset )
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih, (Jakarta
Amzah, Imprit Bumi Angkasa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar