MAKALAH
USUL
FIQIH
Dosen
Pengampu:

Di susun oleh:
1.
ABDUL MANAN (1397471)
2.
ASTRI LESTARI (1397901)
3.
MA’RUF MAHUDI (1398811)
4.
MIFTAHUL MUBIN (1398931)
Prodi : PAI
Kelas : D
Semester :
II (Dua)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
JURAI SIWO METRO
T.A.
2014
KATA PENGANTAR
Puji Syukur
penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT
yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini guna memenuhi tugas
mata kuliah Usul fiqih.
Saya
mengucapkan terima kasih kepada Dosen yang telah mengarahkan sehingga makalah
ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Makalah ini tersusun jauh dari sempurna, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah
ini maupun penyusunan makalah berikutnya.
Semoga
makalah ini memberikan informasi dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan
peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Metro, 27
Maret 2014
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu
Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi
oleh siapapun yang ingin menjalankan atau
melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam.
Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan kriteria seorang
mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat
mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath
tetap berada pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu
“penjaga”nya.
Meskipun demikian, ada satu
fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah
serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para
mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri, seperti
penentuan kesahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri
pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan
para Ushuluyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah
(sebagian ahli Ushul menyebutnya : al-Ushul al-Mukhtalaf fiha),
atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan
penyimpulan hukum. Salah satu dalil itu adalah apa yang dikenal dengan al-Istihsan
(selanjutnya disebut sebagai Istihsan) serta Mashalih
Mursalah.
Dalam makalah ini, penulis
akan memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan masalah al-Istihsan dan Mashalah Mursalah, pandangan
para ulama tentangnya, serta beberapa hal lain yang terkait dengannya. Untuk
pembahasan selengkapnya akan diuraikan pada bab selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian ihtisan
Istihsan menurut bahasa adalah menganggap sesuatu itu baik.
Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqh istihsan ialah berpalingnya seorang
mujtahid dari tuntutan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan qiyas yang khafiy (samar), atau dari hukum kulli
(umum) kepada hukum istitsnaiy
(pengecualian) dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya dan memenangkan
perpalingan ini.
B. Dasar Hukum Istihsan
1. Alqur’an
2. Hadits
C.
Macam-Macam Istihsan
1. Istihsan Qiyasi
2
Istihsan Istisnaiy
D.
Kehujjahan Istihsan
Dari definisi istihsan
dan penjelasan terhadap kedua macamnya jelaslah bahwasanya pada hakekatnya
istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum
istihsan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan Qiyas yang
tersembunyi yang mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa
faktor yang memenangkannya yang membuat tenang hati si mujtahid. Itulah segi
istihsan. Sedangkan bentuk yang kedua dari istihsan ialah bahwa dalilnya adalah
maslahat, yang menuntut pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum), dan ini
juga yang disebut dengan segi istihsan.
E. Pengertian Maslahah Mursalah
Kata mashlahah memiliki dua arti, yaitu: maslahah
berarti manfa’at baik secara timbangan kata yaitu sebagai masdar, maupun secara
makna dan Maslahah fi’il (kata kerja) yang mengandung ash-Shalah yang bermakna
an-naf’u. Dengan demikian, mashlahah jika melihat arti ini merupakan lawan kata
dari mafsadah. Maslahat kadang-kadang disebut pula dengan ( الاستصلاح ) yang
berarti mencari yang baik ( طلب الاصلاح).
Menurut istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta`rif yang diberikan di
antaranya: Imam Ar-Razi mendefinisikan mashlahahyaitu perbuatan
yang bermanfaat yang telah ditujukan oleh syari’ (Allah) kepada hamba-Nya demi
memelihara dan menjaga agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta
bendanya.
F. Syarat-syarat Maslahah Mursalah
Golongan
yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah dalam pembentukan hukum (Islam)
telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang dipenuhi, sehingga maslahah
tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan keinginan yang merusakkan
manusia dan agama. Sehingga seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai
ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai syari`atnya.
G.
Macam-macam Maslahah Mursalah
a.
Maslahah dharuriyah (Primer).
b. Maslahah
Hajjiyah (Sekunder).
c.
Maslahah tahsiniyah atau kamaliyat (Pelengkap/tersier)
H. Ikhtilaf Para
Ulama tentang Maslahah Al Mursalah
Masalah al Mursalah tidak diterima oleh sebagian umat Islam, khususnya mayoritas penganut
mazhab asy-Syafi’iah sebagai dasar penetapan hukum Islam.
I.
Pengertian
Istishab
Istishab
menurut bahasa ialah pengakuan kebersamaan. Sedangkan menurut istilah adalah
menetapkan suatu hukum yang ada pada waktu yang lalu sebelum datang hukum atau
dalil yang merubahnya. Dengan kata lain, Istishab
adalah menjadikan satu hukum satu peristiwa yang ada sejak semula tetap berlaku
hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada sumber hukum yang mengubah ketentuan
hukum itu.
J. Macam-macam istishab
a.
Istishab Aql Adalah
suatu keyakinan umum dalam rangka mendalami agama sehingga ulama membedakan ajaran agama menjadi dua bagian,
yaitu, Ibadah (tidak sepenuhnya sama
dengan fiqih ibadah) dan Muamalah
(tidak sepenuhnya sama dengan fiqih Muamalah).
b.
Istishab Syara’ adalah
sesuatu perbuatan yang tegak karna perintah Allah dan rasul-Nya serta tidak ada
dalil yang mengubah perintah tersebut.
Misalnya, wudhu’ dan jumlah rokaat sholat.
c.
Istishab al-baroa’ah Al-ashiliyah adalah istishab
yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya manusia bebas dari taklif
(beban), sampai adanya dalil yang merubah status tersebut.
d.
Istishab Al-ibaha al-ashiliyah adalah istishab
yang didasarkan atas hukum asal, yaitu mubah (boleh).
e.
Istishab Ma Dalla al-Syar’u ‘ala Tsubut adalah
istishab yang didasarkan atas tetapnya hukum yang sudah ada sampai ada dalil
yang mencabutnya.
f.
Istishab Al-washfi adalah
tishab yang didasarkan atas anggapan tetapnya sifat yang ada dan diketahui
sebelumnya, sampai ada bukti yang merubahnya.
K. Kehujjahan Istishab
a. Jumhur ulama
yang dipelopori oleh imam malik, sebagian ulama syafi’iyyah dan hanafiah
berpendapat bahwa istishhab dapat dijadikan hujjah ketika tidak ada nas atau
dalil dari Al-quaran, hadist, ijmak, qias. Hukum yang ada tetap berlaku
sepanjang belum ada dalil yang mengubahnya.
b.
Sebagian
ulama Hanafi’ah dan Syafi’yyah. Berpendapat bahwa istishhab bukanlah dalil
untuk menentukan hukum yang sekarang, ia sekedar mengetahui hukum masa lalu. Sedangkan
untuk menentukan hukumnya sekarang ini, ia memerlukan dalil.]
c.
Jumhur ulama
hanafiah berpendapat bahwa istishhab adalah untuk menetapkan (dirinya sendiri)
dan bukan untuk menetapkan yang lain. Dan ulama ini menolak Istishab dalam
bentuk istishab Aql (akal).
L. Pendapat Ulama tentang Istishhab
Ulama
Hanafiyah menetapkan bahwa Istishhab merupakan hujjah untuk
mempertahankan dan bukan untuk menetapkan apa-apa yang dimaksud oleh mereka.
dengan pernyataan tersebut jelaslah bahwa Istishab merupakan ketetapan
suatu yang telah ada menurut keadaan semula dan juga mempertahankan suatu yang
berbeda sampai ada dalil yang menetapkan atas perbedaanya.
M. Pengertian ‘urf
Arti ‘urf secara harfiyah adalah suatu keadaan,ucapan,
perbuatan, atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi
untuk melaksanakanya atau meninggalkanya. Dikalangan masyarakat, ‘urf
ini sering sering disebut sebagai adat
N.
Macam-
macam ‘Urf
Jika ditinjau dari segi baik dan
buruknya ‘urf (diterima atau tidaknya), urf itu dibagi dua,yakni:
a. ‘Urf shahih
b.
‘Urf fasid
Jika
ditinjau dari segi macamnya dibagi dua pula,yaitu:
a.
‘Urf
qauly,yaitu
b.
‘Urf amaly
Jika dilihat dari segi berlakunya,
inipun dapat dibagi dua:
a.
‘Urf ‘aam
b.
‘Urf khas
O.
Hukum
‘Urf
a. ‘Urf Sahih Pandangan para Ulama
Telah disepakati bahwa ‘urf sahih itu harus dipelihara dalam
pembentukan hukum dan pengadilan. Maka seseorang mujtahid diharuskan
untuk memelihara ketika ia menetapkan hukum. Begitu juga seorang Qudhi (hakim)
harus memeliharanya ketika sedang mengadili. sesuatu yang telah saling dikenal
manusia meskipun tidak menjadi adat kebiasaan, tetapi telah disepakati dan
dianggap mendatangkan kemasalahan bagi manusia serta selama hal hal itu tidak
bertentangan dengan syara’ harus dipelihara.
P.
Kehujjahan
‘urf
Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’
tersendiri. pada umumnya, ‘urf ditunjukan untuk memelihara kemasalahan umat
serta menunjang pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Dengan ‘urf dikhususkan
lafal yang ‘amm (umum) dan dibatasi yang mutlak. Karena ‘uruf pula terkadang qiyas itu ditinggalkan.
karena iti, sah mengadakan kontrak borongan apabila ‘urf sudah terbiasa
dalam hal ini, sekalipun tidak sah menurut qiyas, karena kontrak
tersebut adalah kontrak atas perkara yang ma’dum (tiada).
Q. Pengertian
Saddudz Dzaria’ah
Saddudz
dzari’ah terdiri dari dua kata, yaitu saddu dan dzari’ah.
Saddu bermakna penghalang atau
sumbatan. Sedangkan dzari’ah bararti jalan.
مَا
كَانَ وَسِيْلَةً وَطَرِىقاً اِلَي الشَيْءِ
Apa-apa yang
menjadi perantara dan jalan sesuatu.
Maksudnya
menghambat atau menghalangi atau menyanmbut semua jalan yang menuju kepada
kerusakan atau maksiat. Ibn Qayyim Al-Jaujuyah, mengatakan bahwa pembatasan
pengertian djari’ah kepada sesuatu yang dilarang sajatidak tepat, karena
ada juga djari’ah yang bertujuan kepada yang dianjurkan. Oleh karena
itu, pengertian djari’ah lebih baik di kemukakan yang bersifat umum,
sehingga djari’ah mengandung dua pengertian, yaitu yang disebut dilarang
dengan sadd adz-dzari’ah dan dan yang dituntut untuk dilaksanakan
disebut adz-dzari’ah.
R. MACAM SADD ADZ-DZARI’AH
Ada
dua macam pembagian dzari’ah.
1. Dzari’ah dilihat
dari segi kualitas ke-mafsadat-anya.
2. Dzari’ah dilihat
dari segi jenis ke-mafsadat-anya yang ditimbulkanya.
S.
Pengertian
Qaulu sahabiy
|
T. Kedudukan
qaulu sahabiy
Para
ulama’ berbeda pendapat tentang qaulu
sahabiy sebagai hujjah syar’iyyah. Kalangan ulama’ Hanafiyah
berpandangan bahwa qaulu sahabiy merupakan hujjah syari’ah bagi
perkara yang tidak dapat dijangkau oleh qiyas, kedudukan qaulu
sahabiy diperselisihkan kalangan internal mereka ; ada yang meyakininya
sebagai hujjah syari’ah, yang harus dipriotiskan ketimbang qiyas, dan
ada yang memendangnya bukan hujjah syar’iyyah.
U. Implikasi dari perbedaan pandangan
a. Jual beli inah (bai; al-‘inah)
b. Kadar waktu terlama kehamilan
c. Kadar ganti rugi atas pencedraan hewan
ternak
d. Kadar waktu tersingkat menstruasi
e. Menikahi perempan yang sedang iddah dari
suaminya `yang terdahulu serta menyetubuhinya.
f. Kedudukan Isteri Ketika Suaminya hilang,
tidak di ketahui Kabarnya.
g. Kewarisan perempuan yang ditalak Bain
saat suaminya berpenyakit keritis
V. Hukum
Syariat Sebelum Kita (syar’u Man Qablana)
Jika
Al-Quran dan As-Sunnah yang shohih mengisahkan suatu hukum yang telah
disyaria’tkan kepada umat yang dahulu melalui para rosul, kemudian nash
tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka maka tidak
diragukan lagi bahwa syariat tersebut juga ditunjukkan kepada kita. Dengan kata
lain wajib untuk diikuti. Atau dengan kata lain pula tidak ada perbedaan
pendapat bahwasannya hukum tersebut merupakan syariat untuk kita dan suatu
undang-undang yang wajib untuk diikuti, berdasarkan penetapan syara’,
W.
Pendapat Ulama Terhadap Syar’u Man Qoblana
Telah jelas digambarkan diatas
bahawa syariat terdahulu yang jelas dalilnya baik berupa penetapan atau
penghapusan telah disepakati para ulama’. Namun yang diperselisishkan adalah
apabila pada syariat terdahulu tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hal
itu diwajibkan pada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka seperti firman
Allah:
“Oleh karena itu kami tetapkan suatu
hukum bagi bani isroil bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia bukan
karena orang itu membnuh orang lain atau karena berbuat kerusakan dimuka bumi
maka seakan-aka ia telah membunuh manusia seluruhnya.” (Al-maidah ayat : 32)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar